Penulis: Juan Rafael (Universitas Lancang Kuning)
“Setiap hukum yang melanggar hak-hak manusia yang tidak dapat diringkas pada dasarnya tidak adil dan tirani, dan itu bukanlah hukum.”
-Maximilien Robespierra-
Sebelum penulis membelalakkan berbagai fakta yang telah dikemas secara rapi siap disuguhkan dalam menerawang setiap fakta dan realita di negeri, izinkan penulis menyampaikan suatu pernyataan, hidup kita memanglah singkat, terlalu singkat jika untuk berdebat, menghujat, atau bahkan mengumpat para pejabat yang kini mengemban amanat rakyat. Bak mengarungi sebuah samudera, diperlukan suatu ambisi, strategi, aspirasi bukan saling unjuk gigi atau saling adu siapa yang paling berinteligensi atau yang paling berkompetensi. Itulah hakikat sebuah perjuangan sejati. Dunia butuh dedikasi bukan teori. Mari bergandeng tangan dan hadapi semua tantangan silih berganti. Mari saling bersinergi untuk menyongsong Indonesia berdikari. Mari berkolaborasi guna menciptakan Indonesia berkuality. Mari berkontribusi dan ciptakan suatu transformasi terkhusus menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia nanti dan masalah korupsi nyelip sana dan sini. Mari berkomitmen mengasah potensi, meningkatkan aktualisasi, menjajaki aspirasi, menjunjung toleransi, terus berdedikasi pada negeri. Itulah orientasi naskah esay ini.
Berbicara mengenai transformasi terkhusus di negeri yang kita cintai, sejatinya banyak yang perlu dibenahi yang jauh dari kata pantas. Pendidikan, ekonomi, pariwisata dan lain sebagainya. Rasanya, tumpukan bukupun tak cukup untuk mengurai semua problematika yang kian mewarnai negeri ini. Namun rasanya semua masih dapat dibenahi dalam rentang waktu wajar. Hanya saja, 1 fundamental case yang penulis bidik rasanya sangat jauh dari upaya reformasi, ya sebut saja sebagai ‘sampah abadi’. Ini tentu bukan tentang sampah yang mencemari lingkungan, namun ini adalah sampah yang mencemari negara ya apalagi kalau bukan korupsi. Lagi dan lagi penulis tekankan, esay ini bukan untuk unjuk siapa yang paling berintelegensi, tapi sebagai unjuk aspirasi penulis terhadap penanganan korupsi yang ‘jauh panggang dari api’
Korupsi merupakan patologi sosial yang merusak struktur dan tatanan pemerintahan. Jika kita ulik dari segi etimologis (asal-usul suatu kata)nya, Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.Jadi sudah jelas, siapapun yang dicap sebagai koruptor pasti dicap sebagai orang yang hina dan tercela.Contoh kecilnya saja mantan menteri sosial Juliari Batubara yang sudah jelas terjerat kasus korupsi dana bansos covid-19. Di saat bantuan merupakan‘angin segar’untuk bertahan hidup,dengan santainya dikorupsi tanpa rasa bersalah. Masih banyak kasus lainnya.
Korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa(extra ordinary crime) karena menyangkut hak asasi manusia, kebudayaan, ekonomi dan tidak dilakukan oleh masyarakat umum namun hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kuasa atau jabatan. Sudah sepantasnya sanksi pidana diterapkan secara mantap guna memberi efek jera karena korupsipun sejatinya telah merusak aspek kehidupan lainnya, seperti pendidikan dan lainnya. Kalau kita tilik strategi yang dimiliki 3 negara dengan indeks perspeksi korupsi pada posisi pertama yang berbanding terbalik dengan Indonesia. Korupsi justru menjadi hal yang sangat asing bagi negara mereka. Anehnya, di Indonesia berbagai upaya justru dihadirkan untuk melumpuhkan KPK seperti dengan adanya UU KPK revisi yang semakin mempertumpul taring KPK? Lantas ada apa dibalik UU KPK revisi yang mampu menerkam KPK sendiri dan mengekalkan tahta koruptor?
yakni terdapat 26 poin yang memiliki potensi melemahkan KPK itu sendiri. 26 point tersebut yakni:
1. 1. Pelemahan Independensi KPK
2. 2. Peraturan tentang pimpinan adalah yang memiliki tanggungjawab tertinggi sudah dihapus
3. 3. Terdapat dewan pengawas yang memiliki kuasa lebih dinggi daripada Pimpinan KPK
4. 4. Dewan pengawas berwenang dalam teknis penanganan perkara
5. 5. Dewan pengawas memiliki standar larangan etik dan anti konflik kepentingan lebih rendah dibandingan Pimpinan KPK. Selain itu pasal 36 tidak berlaku bagi Dewan Pengawas yang mengakibatkan Dewan pengawas diijinkan menjadi komisaris, direksi atau jabatan profesi lainnya. Dewan oengawas juga diijinkan bertemu dengan tersanga atau pihak lainnya yang ada hubungannya dengan perkara.
6. 6. Untuk pertamakalinya dewan pengawas dipilih dari apparat penegak hokum
7. 7. Pimpinan KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum
8. 8. Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia pimpinan KPK yang minimal 50 tahun serta alasan UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan
9. 9. Penyidik tidak dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri yang mengakibatkan pelaku korupsi mudah kabur ke luar negeri.
10 10. Penyadapan tidak dapat dilakukan pada tahap penuntutan harus ada lapis birokrasi, sehingga terdapat resiko lebih besar adanya kebocoran perkara serta pengajuan penyadapan akan semakin lama.
1111. Rumitnya pengajuan penyadapan mengakibatkan sulitnya dilakukan OTT
1212. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan dimana OTT tidak boleh dilakukan oleh KPK lagi
1313. Terdapat ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau penyimpanan hasil penyadapan, tetapi ancaman tersebut tidak jelas rumusan pasal pidananya.
1514. Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus mengakibatkan penyidik PNS di KPK diawasi oleh penyidik Polri.
1515. Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan Penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas Penyidikan”, padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap Terdakwa
1616. KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait dalam penuntutan, akan tetapi tidak dijelaskan pihak yang dimaksud.
1717. Terdapat status ASN yang mengakibatkan pegawai KPK tidak independent dalam menjalankan tugasnya serta rentan untuk dikontrol.
1818. Terdapat ketidakpastian dalam status pegawai KPK apakah menjadi PNS atau pegawai kontrak (PPPK)
1919. Penanganan korupsi yang kompleks dan berlintas negara akan sulit karena jangka waktu SP3 selama 2 tahun.
2020. Pengubahan pasal 46 ayat (2) mengaibatkan perlunya ijin untuk memeriksa pejabat tertentu
2121. Adanya pertentangan norma seperti pasal 69 D dan pasal II tentang berlakunya pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK sebelum dewan pengawas dibentuk.
2222. Hilangnya posisi Penasehat KPK dengan tanpa kejelasan ataupun aturan peralihan
2323. Kewenangan penanganan kasus yang meresahkan public sesuai dengan pasal 11, kini telah dihilangkan.
2424. KPK hanya berkedudukan di ibukota negara.
2525. Tidak adanya penguatan pada aspek pencegahan ketika rekomendasi dari KPK tidak ditindaklanjuti
2626. Kewenangan KPK untuk melakukan supervise dikurangi serta pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi tidak berlaku lagi.
Dari 26 poin tersebut dapat disimpulkan bahwa 26 point kelemahan kpk sebagian besar karena keberadaan Dewan Pengawas KPK yang mengubah sebagian besar UU KPK. Selain itu dilucutinya sejumlah kewenangam KPK terkait penyidikan dan penuntutan, serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan juga dinilai melenyapkan supremasi KPK. Nyaris! Ketika publik berkoar mendukung supremasi KPK, nyatanya lenyap seketika tunduk pada ‘ahlinya pembuat undang-undang’ yang lihai dalam cetak mencetak aturan sesuai kebutuhan mereka. Jika terasa terancam, ya pasti akan mencetus strategi andalan lainnya. Namun apa daya, ini sudah menjadi cemilan harian rakyat ketika minikmati lakon dalam pentas demokrasi.
Secara gamblang penulis dapat tekankan bahwa untuk menghempas habis korupsi tidak hanya memerlukan sinegritas, namun juga komitmen bagi instansi negara yang turut menjadi pemangku utama pemberantasan korupsi. Jika pemerintah tak lagi menjadi tempat rakyat mengadu, lantas buat apa istilah kedaulatan rakyat masih menjadi kamus baku dalam demokrasi? Bukannya sebatas simbolik usang terkikis zaman? Berceloteh ria tentang keadilan, nyatanya melumat habis hakikat keadilan. Salam hangat dari pemimpi negeri penuh demokrasi!
Penulis adalah Juan Rafael, seorang mahasiswa fakultas hukum Universitas Lancang Kuning.
1 Comments
Wahh mantap sekali
ReplyDeleteSilahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)