ANALISIS FILOSOFIS TERHADAP PEMBERLAKUKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA BERDASARKAN TEORI JHON AUSTIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVII/2020 (BAGIAN 2)

Penulis : Geofani Milthree Saragih

TERLEBIH DAHULU, BACA TULISAN BERIKUT : (ANALISIS FILOSOFIS TERHADAP PEMBERLAKUKANUNDANG-UNDANG CIPTA KERJA BERDASARKAN TEORI JHON AUSTIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAHKONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVII/2020 (BAGIAN 1)

 

2. Rakyat Akan Tunduk Pada Hukum Yang Dibentuk Oleh Negara

Salah satu pernyataan yang terlihat dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tersebut adalah bahwa rakyat akan tunduk pada hukum yang dibentuk oleh negara. Memang benar, bahwa secara konstitusional telah ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, namun bukan berarti semua rakyat Indonesia sudah pasti paham akan hukum. Materi muatan di dalam UU Cipta Kerja banyak terdapat relasi yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Apabila dilakukan pencermatan di dalam UU Cipta Kerja, ada banyak hak yang terdampak dari pemberlakuan UU Cipta Kerja tersebut, baik dari aspek perburuhan, aspek lingkungan hidup yang baik dan sehat, persoalan akses terhadap Sumber Daya Alam, persoalan penggusuran paksa dan hak atas keadilan. Namun, terlepas dari apa yang menjadi permasalahan dari UU Cipta Kerja tersebut baik secara materi maupun prosedural (formil), dalam faktanya UU Cipta Kerja tetap berlaku. Maka, pernyataan Jhon Austin yang menyatakan bahwa rakyat akan tunduk pada hukum yang dibentuk oleh negara (pemerintah) adalah benar dalam realitas hukum yang ada di Indonesia saat ini. Apalagi pemerintah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara, yaitu legitimasi yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku dan diakui secara sah. Indonesia menurut pandangan dari peneliti masih kurang kritis terhadap perkembangan hukum yang ada, hal ini mungkin ada kaitannya dengan rendahya tingkat minat literasi di Indonesia. Ditambah dengan retorika yang disampai oleh Pemerintah dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan baik dari seluruh kalangan yang ada, memperkuat legitimasi mereka dalam memberlakukan UU Cipta Kerja tersebut. Sehingga, rakyat akan tunduk pada hukum yang dibentuk oleh negara adalah benar di dalam realitas hukum di Indonesia pada saat ini.

3. Hukum Menggeser Keadilan, Hanya Mengutamakan Formal Saja

Pernyataan dari Jhon Austin dalam teorinya yang relevan selanjutnya adalah bahwa hukum menggeser keadilan, hanya mengutamakan formal saja. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 telah membuktikan bahwa memang dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja hanya mengutamakan aspek formal saja dari segi pembentuknya, dengan mengesampingkan keadilan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa di dalam UU Cipta Kerja, ada banyak hak yang terdampak dari berlakunya UU Cipta Kerja tersebut, yakni dari aspek perburuhan, aspek lingkungan hidup yang baik dan sehat, persoalan akses terhadap Sumber Daya Alam, persoalan penggusuran paksa dan hak atas keadilan. Ini jelas telah melanggar nilai keadilan yang ada. Terbukti dari telah dibatalkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja melalui uji formil di Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020). Maka perlulah kita renungkan secara filosofis, karena kemungkinan dikeadaan seperti ini, ilmu hukum tidak bisa menjawab permasalahan demikian, saatnya filsafat hukum yang berkerja dalam sanu bari pemikiran kita. Mengapa keadaan tersebut mengesampingkan hukum? dengan mengutamakan formal saja? Karena fakta demikian bahwa legitimasi tadilah yang membuat keadaan tersebut dapat berjalan. Saat gerakan dari rakyat Indonesia terutama intervensi secara online terhadap pemberlakukan UU Cipta Kerja, maka kemungkinan Mahkamah Konstitusi tergertak untuk mengabulkan “sebagian” dari permohonan uji formil yang diketuai oleh Victor Santoso Tandiasa tersebut. Keadilan mulai tampak saat rakyat Indonesia mulai merasa bahwa memang perlu untuk melakukan usaha penuh untuk mewujudkan keadilan yang semu tersebut. Hanya mengutamakan formal saja dalam pembentukan hukum terutama dari segi legitimasi jelas merupakan ketidak adilan yang tersistemisasi.

4. Hukum Sebagai Suatu Sistem Yang Tetap, Logis dan Tertutup

Seperti yang dikatakan oleh G. Sartori, bahwa perkembangan gagasan konstitusionalisme menyatakan bahwa negara dan penguasa bertunduk kepada hukum atau state based on rules bukan rules of state, hal inilah yang mendorong perkembangan konsep konstitusi sebagai hukum dasar (fundamental law). Maka dalam hal ini, konstitusi jadi jalan akhir bagi tertib hukum nasional. Hukum yang terdapat di dalam UU Cipta Kerja dapat dikatakan merupakan suatu hal yang tetap, logis dan tertutup. Tetap dikatakan karena bahwa hukum tersebut telah berlaku dan sudah diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Dikatakan logis karena pada dasarnya ketetentuan yang terdapat di dalam UU Cipta Kerja tersebut secara hukum dapat dilogikakan (walaupun terdapat beberapa kesalahan secara redaksional) dan tertutup, karena bagaimanapun reaksi masyarakat terhadap UU Cipta Kerja tersebut, mau tidak mau pada faktanya adalah tetap diberlakukan. Tidak hanya sampai pada putusan Mahkamah Konstitusi itu saja, dalam perkembanganya juga terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak ditindak lanjut oleh lembaga negara sebagai positive legislature. Sebagai suatu sistem, di dalam hukum tidak boleh terdapat suatu pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu, juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih antara bagian-bagian tersebut.

Dalam pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja jelas telah terbentuk secara tertutup. Salah satu asas yang dilanggar dalam UU Cipta Kerja tersebut adalah transparansi dan keikutsertaan dari masyarakat, belum lagi pembahasannya yang bisa dikatakan begitu cepat (kilat). Sebenarnya, secara tidak langsung dengan diputuskannya bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dianggap telah cacat secara formil, maka telah bertentangan secara filosofis dengan ideologi Pancasila. Karena, Pancasila adalah sumber tertinggi hukum yang ada di Indonesia. Bukti secara konstitusional bahwa Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di negara Indonesia juga dapat dilihat dari bunyi alinea ke-4 UUD 1945.

SUATU KESIMPULAN

Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Pandangan utama Jhon Austin tentang hukum ini mungkin yang paling tampak dari pembentukan hingga perundangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Tersebut. Bagaimana tidak, karena telah jelas bahwa pembentukan dari UU Cipta Kerja tersebut yaitu dengan metode Omnibus Law tidak dikenal di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Berdasarkan pengamatan dari peneliti, Pemerintah sebagai pihak yang mengajukan rancangan undang-undang cipta kerja merasa bahwa apabila sudah memalui pembahasan politik, maka hukum tersebut sudah dapat berlaku. Padahal, ada banyak rambu-rambu hukum yang seharusnya diperhatikan.

Rakyat akan tunduk pada hukum yang dibentuk oleh negara (pemerintah). Salah satu pernyataan yang terlihat dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tersebut adalah bahwa rakyat akan tunduk pada hukum yang dibentuk oleh negara. Sudah jelas secara hukum terdapat kecacatan dalam pembentukan UU Cipta Kerja, namun nyata-nyatanya masih berlaku. Hal ini membuktikan bahwa berlakunya UU Cipta Kerja tetap ditaati oleh rakyat karena UU Cipta Kerja tersebut dikeluarkan (disahkan) oleh pemerintah. Penyataan dari Jhon Austin inilah yang paling tampak dari pemberlakuan UU Cipta Kerja yang jelas telah cacat secara prosedura (formil) pembentukannya. 

Hukum menggeser keadilan, hanya mengutamakan formal saja. Pernyataan dari Jhon Austin dalam teorinya yang relevan selanjutnya adalah bahwa hukum menggeser keadilan, hanya mengutamakan formal saja. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 telah membuktikan bahwa memang dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja hanya mengutamakan aspek formal saja dari segi pembentuknya, dengan mengesampingkan keadilan. Formal yang dimaksud dalam hal ini adalah telah melewati tahap pembahasan dan disahkan oleh pemerintah (berdaulat).

Hukum sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup. Hukum yang terdapat di dalam UU Cipta Kerja dapat dikatakan merupakan suatu hal yang tetap, logis dan tertutup. Tetap dikatakan karena bahwa hukum tersebut telah berlaku dan sudah diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Dikatakan logis karena pada dasarnya ketetentuan yang terdapat di dalam UU Cipta Kerja tersebut secara hukum dapat dilogikakan (walaupun terdapat beberapa kesalahan secara redaksional) dan tertutup, karena bagaimanapun reaksi masyarakat terhadap UU Cipta Kerja tersebut, mau tidak mau pada faktanya adalah tetap diberlakukan. 

 

 

Referensi :

1.    Agus Suntoro, 2021, “Implementasi Pencapaian Secara Progresif Dalam Omnibus Law Cipta Kerja “, Artikel Pada Jurnal HAM, Edisi 12, No. 1 April 2021.

2.     Achmad Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Kencana.

3.     Juhaya S. Praja, 2005, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Jakarta, Kencana.

4.     Mohammad Fajrul Falaakh, 2014, Pertumbuhan dan Model Konstitusi Serta Perubahan UUD 1945 Oleh Presiden, DPR dan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

5.     Fajar Laksono Suroso, 2018, Potret Relasi Mahkamah Konstitusi-Legislator, Yogyakarta, Genta Publishing.

6.     Fajar Nurhardianto, 2015, “Sistem Hukum dan Posisi Hukum”, Artikel Pada  Jurnal TAPis, Edisi 11, No. 1 Januari-Juni.

7.      Fais Yonas Bo’a, 2018, “Pancasila Sebagai Sumber Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional”, Artikel Pada Jurnal Konstitusi, Edisi 15, No. 1 Maret 2018.

Post a Comment

0 Comments