Penulis : Pegi Perdianti
Pada akhir tahun 2021, rentetan kasus kekerasan seksual banyak di beritakan di berbagai media sosial dan menguncang dunia maya. Salah satu kasus yang cukup membuat geram para netizen Indonesia adalah kasus Hery Wirawan, sang predator seksual yang memanipulatif ilmu dan agama dalam menjalankan aksi bejat nya.
Hery Irawan telah memangsa belasan santriwati dan 8 di antaranya sudah melahirkan anak, dan juga sedang mengandung.
Aksi kekerasan seksual tersebut sudah di lakukan pada tahun 2016 dan baru terungkap pada akhir tahun 2021. Profil Hery Wirawan dalam kasus yang di beritakan belliau adalah seorang pimpinan pada salah satu pesantren tempat beliau menjalankan aksi nya
Pada kasus yang di tangani oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum ) memberikan tuntutan kepada Hery Wirawan berupa pidana mati, dan tambahan hukuman kebiri kimia, membayar denda seninlai Rp. 500 Juta Rupiah atau jika tidak mampu subsider 1 tahun kurungan, serta mengumumkan identittas pelaku di muka umum. Unsur dalam penjatuhan hukuman mati pada kasus Hery Wirawan memang sudah terpenuhi sebagaimana yang telah diatur pada pasal 81 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hukuman mati dapat di lakukan apabila
a. Korban lebih dari satu orang
b. Mengakibatkan luka berat
c. Gangguan jiwa
d. Terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi
e. Dan/ korban meninggal dunia.
Unsur-unsur yang telah disebutkan diatas pada kasus ini, telah memenuhi unsur penjatuhan pidana mati pada kasus Hery Wirawan, tetapi tidak hanya itu, tambahan yang memberatkan sanksi pidana pada kasus ini adalah mengingat bahwa beliau adalah seorang tenaga pendidik, dan menyalahkan bantuan anggaran dari pemerintah untuk di salahgunakan dalam aksi nya tersebut.
Namun dalam tuntutan jaksa pada kasus Hery Wirawan tersebut mendapat kecaman dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) terkait tuntutan hukuman mati yang di anggap telah melanggar salah satu Hak Asasi Manusia yaitu hak untuk hidup. Namun konsep hukuman mati pada beberapa kasus memang sejak dahulu sudah sering menjadi kontroversi dan perdebatan di berbagai kalangan, baik masyarakat awam, atau pun para elit politik. Tentunya pertentangan antara kedua nya mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan sanksi yang sesuai.
Pada pertengahan Februari 2022 hakim menetapkan vonis kepada Heri Wirawan berupa vonis pidana penjara seumur hidup, tentunya tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Hal ini tidak dikabulkan oleh hakim. Dalam putusan nya :
a. Menyatakan Hery irawan terbukti secara sah melakukan kekerasan seksual dengan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya (Hery Wirawan), yang menimbulkan lebih dari satu orang korban, beberapa kali, dalam hal ini adalah dakwaan primer
b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, berupa pidana penjara seumur hidup
c. Menetapkan terdakwa tetap ditahan
d. Membebankan restitusi kepada kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
e. Menetapkan 9 anak dari para korban dan anak korban agar diserahkan perawatanya kepada pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan dievaluasi secara berkala, dalam evaluasi tersebut, para korban dan anak korban sudah mampu menerima dan mengasuh kembali anaknya, dan situasi memungkinkan anak tersebut dikembalikan ke para korban masing-masing.
f. Perampasan barang bukti sepeda motor oleh negara, serta membebankan biaya perkara kepada negara.
yang menjadi menarik dalam putusan ini adalah tidak adanya tindakan kebiri kimia dalam putusan hakim tersebut, dengan pertimbangan hakim merujuk pada pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi “ Jika terdakwa telah divonis seumur hidup disamping tidak boleh dijatuhkan hukuman pidana lain kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim”. Atas dasar tersebut hakim pada putusannya tidak memberikan hukuman berupa kebiri kimia kepada terdakwa Hery Wirawan. Dalam penafsiran kalimat tersebut disebutkan tidak boleh menjatuhkan pidana tambahan dalam kasus ini adalah (tindakan kebiri kimia) di samping pidana pokok (hukuman pidana penjara seumur hidup) kecuali pencabutan hak-hak tertentu, perampasan, dan pengumuman majelis hakim dalam hal ini adalah pengumuman identitas pelaku sebagai predator seksual.
Hukuman pidana mati bagi kasus Hery Wirawan memnag sudah memenuhi unsur-unsur pemberatan dalam tindak pidana yang di perbuat oleh nya, dengan pejatuhan hukuman mati, setidak nya akan memberikan pembelajaran dan peringatan kepada predator seksual lainnya untuk tidak berbuat hal yang keji sedemikian. Hal lain, negara tidak perlu menangggung anggaran, dan membiayai kehidupan selama di lembaga pemasyarakatan.
Akan tetapi, kita juga tidak menyalahkan putusan hakim pada kasus tersebut, tentunya hakim dalam hal menjatuhkan putusan tersebut telah mempertimbangkan segala nya dengan matang.
Namun yang menjadi masukan penulis pada kasus ini adalah khusus bagi predator seks, penempatan sel pada terdakwa harus tersendiri, hal ini untuk mencegah doktrin penyimpangan seks bagi narapidana lainnya, karena dalam hal ini tindakan kebiri kimia tidak di laksanakan oleh hakim, sehingga tidak akan mengurangi hasrat seksual terdakwa walaupun di penjara seumur hidup.
Dan yang kedua, vonis penjara seumur hidup yang dirasa sesuai menurut penegak hukum, khusus nya di sini adalah seorang hakim, di harapkan nantinya tidak ada hal berupa grasi atau pun remisi dikemudian harinya. Hal tersebut setidak nya menunjukkan bahwa hukum Indonesia menolak keras terhadap pelaku tindak pidana seksual.
Sekian, terimakasih
0 Comments
Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)