Penulis : Viona Margaretha
Education is the most powerful weapon which you can use to change the world
–Nelson Mandela
Berbicara mengenai sistem hukum di Indonesia tidak lepas kaitannya dengan keikutsertaan generasi dalam menjadi arsitek pembangunan di Indonesia. Dalam membangun sebuah gedung yang kuat, diperlukan tiang kokoh dan pondasi yang kuat untuk mengantisipasi dari terpaan badai yang berusaha menggoyahkan topangan dalam suatu bangunan. Begitu pula dengan Indonesia, dalam menyongsong transformasi peradaban yang kian berupaya menggoyahkan bangunan tersebut.
Penulis sadari bahwa peran serta generasi sebagai pondasi sekaligus tiang tersebut harus kuat. Ironinya, generasi tidak lagi menjadi pondasi yang kuat! Potensi, kontribusi bahkan eksistensi kerap dipertanyakan. Ya penulis paham betul tidak semua generasi memiliki citra buruk. Banyak yang mengukir prestasi dan berjuang demi kemajuan bangsa. Namun coba kita mengembara ke daerah yang jauh dari jangkauan publik, apakah ‘pondasi’ itu sama kuat?
Ya penulis paham betul bahwa kondisi di Indonesia kian memprihatinkan, diperkuat oleh kondisi pandemi covid-19 yang kian merajai segala sendi kehidupa. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa kondisi ekonomi kian lumpuh, pendidikan dan kesehatan berada di tubir jurang, kemiskinan sudah menjadi ‘cemilan’ masyarakat yang bahkan sebelum pandemi. Tentunya itu berimplikasi kepada tumbuh kembang anak. Anak sebagai arsitek pembangunan di Indonesia kini telah digoyahkan eksistensinya yang kini memilih untuk menikah dini.
Pernikahan dini kerap dipandang sebagai suatu tradisi yang bahkan dipandang sebagai suatu kebanggaan oleh sebagian orang. Padahal sebenarnya, pernikahan dini adalah suatu kejahatan karena pernikahan dini mampu merampas hak pendidikan, hak kebebasan bermain, hak untuk menentukan kehidupan dan hak fundamental lainnya. Namun mirisnya, dilansir dari kompas.com, Indonesia menempati peringkat ke-2 di ASEAN sebagai pernikahan dini terbanyak. Ini bukanlah kebanggaan! Ini adalah tamparan besar untuk Indonesia! Pernikahan dini berdampak pada hilangnya masa anak menikmati masa pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan mental sipirtualnya padahal pernikahan ideal adalah pernikahan yang sesuai dengan syariat dan hukum negara! Penulis tegaskan ini merupakan PR besar bagi kita! Saatnya kita berantas pernikahan dini!
Prevalensi pernikahan dini cenderung bervariasi di setiap negara. Menurut International Center for Research on Women(ICRW) menyebutkan 51 juta anak perempuan telah menikah pada usia 15-19 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksikan lebih dari 140 juta anak perempuan akan menikah dalam satu dekade tahun 2020. Hal ini setara dengan 14 juta pengantin anak setiap tahun atau hampir 39.000 perempuan menikah setiap hari.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa sebanyak 16 juta orang yang melahirkan terjadi pada ibu yang masih berusia 15-19 tahun atau 11% dari seluruh kelahiran di dunia yang mayoritas (95%) terjadi di negara-negara berkembang. Pernikahan usia dini berpotensi besar pada kehamilan di usia yang terlalu muda. Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21–25 tahun sementara laki-laki 25–28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Dari segi kesehatan reproduksi wanita bila berusia dibawah 19 tahun masih belum berfungsi secara maksimal. Wanita yang melahirkan bukan dimasa usia layak juga menjadi pemicu stunting. Diperkuat oleh data kompas.com yang menegaskan bahwa Indonesia menempati urutan ke-empat terkait kasus stunting terbanyak. Tingkat ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen.
Dinilai dari segi status gizi remaja yang kurang maka akan beresiko mengalami anemia. Selain itu, pengetahuan remaja yang rendah mengenai Kesehatan Reproduksi dan kehamilan juga menjadi suatu persoalan. Sehingga remaja yang sudah hamil, bersalin atau ibu nifas beresiko tinggi mengalami perdarahandan bisa berakhir pada kematian. Belum lagi dibawah usia 16 tahun secara psikologis masih belum matang dan belum bisa berpikir secara rasional dan belum bisa bertanggung jawab.
Tingginya angka pernikahan dini menunjukkan adanya dekadensi moral di kalangan generasi muda, sebab semestinya usia produktif dalam menuntut ilmu, mengembangkan kecakapan dan skill untuk modal kehidupan di masa yang akan datang.
Lalu apa dampak pernikahan dini terhadap hukum positif Indonesia? Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan sebelum laki-laki dan perempuan calon mempelai mencapai usia 19 tahun. jika dilihat dari perspektif hukum nasional, pernikahan di bawah umur telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di antaranya:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua
2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 288 KUHP menegaskan bahwa pernikahan yang belum waktunya untuk dikawinkan dan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana pernjara paling lama empat tahun.
3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan; mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pernikahan dini atau terlanjur dilaksanakan dapat dibatalkan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat kedua suami istri, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 25 undang- undang perkawinan. Untuk menutup opini penulis pada esay ini, penulis mengajak pembaca untuk bergandeng tangan memberantas pernikahan dini sebab ini merupakan kejahatan dan merusak generasi bangsa selaku pondasi Indonesia. Pendidikan harus terus dijunjung tinggi bagi generasi Indonesia.
1 Comments
Mantaapppp
ReplyDeleteSilahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)