PERAN MILENIAL DALAM UPAYA PENCEGAHAN BULLYING DI INDONESIA DALAM MENYONSONG ERA DIGITALISASI BERBASIS HUKUM DAN LITERASI

 Penulis : Viona Margaretha


“Indonesia sedang tidak baik baik saja.” Adalah kata yang tepat untuk melukis Indonesia. Penulis tidak sembarang menjustifikasi Indonesia, namun terdapat satu permasalahan dari ribuan bahkan jutaan masalah nan menghiasi Indonesia yakni seputar anak. 

Secuil kasus mendukakan dunia pendidikan pernah terjadi pada 2019 yang menimpa KA, pelaku tega menendang, menampar, hingga nyaris menelanjangi korban KA gara-gara tudingan 'cabe-cabean'. Ketiga remaja itu, P(16), NPH(16), dan KAD(18), saat melakukan perundungan ke korban NKA(15) viral di media sosial. Peristiwa tersebut terjadi pada Januari di Bukit Buluh Gunaksa, Dawan, Klungkung. 

Kasus lain yang turut memperkeruh dunia pendidikan pernah terjadi di Provinsi Jambi yang menimpa SN, seorang siswi SD berusia 13 tahun di Sungai Ulak, Kabupaten Merangin. harus terbaring sambil menangis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kolonel Abundjani Bangko. Murid kelas enam itu diduga mengalami trauma dan depresi usai mendapatkan bullying dari enam orang teman sekolahnya. Tindakan yang ia terima sebagai balas dendam dari temannya oleh karena SN tidak memberikan contekkan saat ujian.

Hal ini sudah jelas bahwa kini anakpun turut menjadi pelaku tindak pidana yaitu penganiayaan. Sadar ataupun tidak, inilah yang akan menjadi embrio pelaku kejahatan lanjutan dan jika tidak ditindak tegas dan tepat, maka akan membentuk pola pikir anak  yang membenarkan aksinya sebagai wujud unjuk diri. 

Penulis amini bahwa persepsi hakikat seorang anak itu beragam. Pengertian, kedudukan, hingga batas usia. Contohnya saja mengenai 2(dua) buah ius constitutum yang mampu membelalakkan mata kita, yaitu batas usia anak yang termaktub dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “anak adalah seorang yang belum berusia 18(delapan belas)tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan aturan lain yang menindaklanjuti isi Putusan MK No.22/PUU-XV/2017 itu, telah dilahirkan UU No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara spesifik pasal 7 ayat (1) telah menetapkan usia seorang laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan izin perkawinan adalah 19(sembilan belas)tahun. 

Ambiguitas dalam menetapkan standarisasi usia anak tentunya mempengaruhi dalam penindakan bagi pelaku anak. Terlebih jika menyangkut agama tertentu yakni agama Islam yang mengatur terkait batas usia anak yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam(KHI)dalam Pasal 98 Ayat (1) menentukan batas usia menyandang status“anak”yakni seorang yang belum berusia 21(dua puluh satu)tahun. 

Singkat saja, permasalahan yang penulis sorot adalah pelaku bullying anak yang kian mencoreng dunia pendidikan. Kinerja aparat penegak hukum dalam menyikapi permasalahan kian dipertaruhkan. Cibiran masyarakat siap menyerbu siapapun yang dirasa‘menyimpang’dari hasrat dan harap. Tak jarang pula masyarakat atau yang akrab disapa‘netizen’justru penyebab aksi bullying di Indonesia. 

Sejujurnya, penulis acap kali memposisikan diri bak seorang penegak hukum. Sulit memang sulit. Rasanya penegak hukumpun terbelenggu dalam dilema tak berkesudahan. Disisi lain, penegak hukum harus menghadapi keadilan, disisi lain harus menghadapi sorot tajam netizen. Kadangpula, netizenpun memicu ketidakpercayaan masyarakat lain terhadap kinerja kepolisian sehingga membuat penegak hukum harus berjuang(lagi)dalam menggelorakan kepercayaan masyarakat. 

Padahal, sebagai seorang pemerhati publik, netizen haruslah berpikir dalam dua sudut pandang dan menelusuri setiap fakta. Namun, tidak menutup kemungkinan pula, netizenpun menjadi sarana ampuh bagi para korban penanti keadilan untuk berani membela kebenaran dan melindungi diri dari ketidakadilan.

Jika membahas bullying, secara definitif, dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “penindasan/risak”merupakan segala bentuk penindasan/kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang/sekelompok orang yang lebih kuat/berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus-menerus. Secara sadar maupun tidak, bullying tidak hanya berbentuk kekerasan secara fisik, namun verbal turut serta di dalamnya seperti body shamming, mencemari nama baik, berkata kasar hingga menyamakan seseorang dengan hewan. 

Bullying tidak hanya terjadi dalam lingkup pergaulan namun kini telah berkembang luas dan bahkan telah mengancam kenyamanan dan keamanan anak. Sebagaimana telah diungkapkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim menyoroti kasus perundungan di internet/bullying online yang dialami pelajar sejak tahun 2011 sampai 2019,mencapai 2.473 orang. Diperkuat oleh Penilaian Siswa Internasional/OECD Programme for International Student Assessment(PISA), sebanyak 41 persen siswa Indonesia dilaporkan pernah mengalami perundungan, setidaknya beberapa kali dalam sebulan. 

Persentase angka perundungan siswa di Indonesia juga berada di atas angka rata-rata negara OECD sebesar 23 persen. Tentu ini adalah masalah serius. Selain berdampak buruk bagi kejiwaan, mental dan intelektual pelaku, bullying juga menjadi pemicu utama terjadi tindak pidana lainnya seperti penghinaan, penganiayaan hingga pembunuhan. 

Penulis percaya bahwa hampir semua elemen masyarakat memiliki media sosial. Tentu itu merupakan hal positif dalam menyongsong era digitalisasi. Namun sebaiknya, kita lebih bijak dalam bermedia sosial. Jangan gunakan media sosial sebagai senjata ampuh menundukkan suatu instansi, sekelompok ataupun perseorangan tanpa didasari oleh fakta dan logika. Hendaklah pula kita menelusuri dan memberikan kepercayaan kepada aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi pada porsinya. 

Sebagai generasi milenial, privasi harus dijunjung tinggi guna menghindarkan diri dari hal-hal yang berpotensi memicu bullying dan jikalau kita meliihat korban bully hendaklah kita menegur pelaku bullying dan memberi dukungan psikologis kepada korban. Perlu diingat pula bahwa pembelaan hukum kasus cyberbullying dapat masuk dalam delik yang termuat dalam KUHP Pasal 310,311,315,317,318 yang juga diatur bersamaan dengan cybercrime lainnya dan dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Transaksi Elektronik(ITE) Pasal 27 ayat(1), ayat(3), ayat(4),Pasal 28 ayat(2), serta Pasal 29.


Post a Comment

1 Comments

Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)