MEWUJUDKAN TUJUAN HUKUM DENGAN MENERAPKAN PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE GUNA MENGOPTIMALKAN EFEKTIVITAS PEMIDANAAN HUKUM

Penulis : Viona Margaretha

 

Berangkat dari pernyataan Jefri Al Buchori yang menegaskan bahwa “Semakin berkuasa manusia semakin banyak ego yang dipertontonkan” merupakan pernyataan yang memiliki korelasi tepat untuk membuka opini penulis dalam menelisik setiap rentetan fakta yang mewarnai hiruk pikuk ius constitutum Indonesia terkhusus kasus yang sedang penulis kaji. Sejatinya ego telah melekat erat dalam setiap individu. 

Kalau kata Max Stirner-Seorang filsuf Jerman bernama lengkap Johann Kaspar Schmidt, dikenal sebagai pencetus pemikiran egoisme- Seorang egois tidak akan mengejar/mengikuti “sebuah ide/protes besar, doktrin, sistem, panggilan jiwa.” 

Orang egois tidak merasa terpanggil secara politis, tetapi “hidup dengan sendirinya” tanpa mementingkan “seberapa baik/buruk kondisi kemanusiaan apabila ia melakukannya”

Untuk mengonstruksikan tatanan pemikiran penulis, izinkan penulis mengkaji cuplikan kisah kedua ibu yang memang penulis akui telah melakukan pencurian beberapa kotak susu dan minyak kayu putih, dilatarbelakangi oleh himpitan ekonomi. Ya penulis paham betul bahwa pasal 362 KUHP mesti tidak pandang bulu dan harus siap „menyeret‟ siapapun „yang bersenggolan‟. Eksistensinya semakin dipertegas dengan kata „barang siapa‟ dan semakin dipertajam „taringnya‟ dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun. Namun coba kita telusuri dan coba kita layangkan pandangan terhadap kondisi di Indonesia saat ini secara spesifik di kala pandemi. 

Apakah Indonesia sedang baik-baik saja?

Menilik catatan BPS per Maret 2021 sebesar 10,14%(27,54 juta)penduduk Indonesia berstatus miskin artinya, masih banyak masyarakat Indonesia terbelenggu dalam krisis ekonomi. Pertanyaannya, apakah mencuri oleh karena himpitan ekonomi merupakan suatu kejahatan? Apakah kedua ibu tersebut telah melakukan kerugian dalam jumlah besar?

Apakah dengan menerapkan sanksi pidana penjara penjara dapat memberi efek jera? Padahal jika kita telaah lebih mendalam, KUHP sendiri memiliki kekurangan yang cukup berimplikasi terhadap efektifitas pemidanaan di Indonesia. Salah satunya adalah KUHP yang tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan sehingga pidana yang dijatuhkan hanya ditafsirkan sesuai dengan pandangan aparat penegak hukum yang masing-masing memiliki interpretasi berbeda. 

Tak hanya itu, KUHP yang bersifat kaku tidak memberikan keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat sehingga memunculkan adanya praktik rekayasa yang dapat mencederai keadilan di dalam masyarakat. 

“Saat hukum terbelit begitu mudah, langit keadilan runtuh menimpa si lemah”-Najwa Shihab. 

Disinilah poin penting yang ingin penulis garisbawahi guna membuka cakrawala berpikir para pembaca selaku rekan intelektual penulis. Jika kita sandingkan makna egois yang telah diutarakan secara gamblang oleh Max dengan yang telah diutarakan oleh Jefri bahwa pemidanaan kini ditafsirkan secara bebas oleh para aparat penegak hukum tidak lepas dari hasrat kuasa dan egoisme. 

Hal itu tidak menutup kemungkinan egoisme para penegak hukum semakin leluasa dipertontonkan dengan mendalilkan ada kepastian hukum tersebut sehingga menjauhkan hukuman itu sendiri dari rasa keadilan tanpa mengutamakan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

Restorative Justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Untuk membangun implementasi restorative justice diperlukan penguatan dan kolaborasi para stakeholder dan hilangkan egoisme sektoral aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak harus berujung ke penjara tetapi yang harus dibangun adalah pencegahan dan pertanggungjawaban sosial terhadap pelaku tindak pidana sehingga diharapkan overcrowded Lembaga Pemasyarakatan makin berkurang. Restoratif justice secara prinsip haruslah sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia.

Jika kita mengulas kembali efektifitas pemidanaan di Indonesia maka dapat secara tegas, lugas dan tergagas penulis menyatakan pidana penjara bagi kedua ibu tersebut tidak pantas dilakukan sebab saat ini Indonesia mengalami over kapasitas (over capacity). 

Menurut Dirjenpas per 6 Mei 2021, kelebihan muatan hingga 131,077% (252.8610) padahal kapasitasnya hanyalah 135.704. Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana dan berimbas pada banyaknya tidak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Pengawas yang lemah dan tidak proposional dengan masifnya jumlah tahanan narapidana seakan mengalihfungsikan pembinaan masyarakat menjadi academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih „diasah‟ kemampuannya melakukan tindak pidana.

Menyikapi kasus di atas, alangkah baiknya jika pihak kepolisian dapat menjembatani mediasi terlebih dahulu dengan pihak korban sebelum dipegang kendali oleh Jaksa Penuntut Umum, Jikalaupun berkas telah diterima, seyogyanya Jaksa menggunakan hak istimewa berupa diskresi yang diberikan undang-undang yaitu deponering. 

Perlu dipertegas kembalibahwa dalam menyelesaikan kasus ini dapat menggunakan pendekatan restorative justive dan integrasi sosial tanpa harus diperhadapkan ke pengadilan yang disempurnakan dengan adanya asas ultimum remedium bahwa pemidanaan adalah pilihan hukum terakhir. Jangan pernah mengabaikan teori utilitas sebagai tujuan hukum yakni semua tindakan manusia diarahkan pada upaya untuk memaksimalkan kesenangan(pleasure) dan meminimalkan kesusahan(pain).

Kebahagiaan sebesar-besarnya untuk jumlah manusia sebanyak-banyaknya merupakan dasar dari moral dan perundang-undangan. Selain itu penulis juga yakin, pemilik akan memaklumi jika diadakan mediasi oleh kepolisian. Apabila tidak, penulis yakin akan ada pihak yang bersedia mengulurkan tangan untuk memberi bantuan kepada ibu tersebut.

Restorative justice is not a replacement of retributive justice, but a complement. It seeks the rehabilitation of the wrongdoer and the repair of the victim’s injury

-Lewis B. Smedes


Post a Comment

1 Comments

  1. Wahh, keren sekali kak artikelnya. Jelas, lugas, tegas, menarik, dan mencerahkan. Terima kasih ilmu dan inspirasinya kak. Saya penggemar setia Detik Mahasiswa Hukum. Salam Justitia.

    ReplyDelete

Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)