JUDICIAL REVIEW DI MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Penulis : Geofani Milthree Saragih

Di awal reformasi, yang menjadi salah satu agenda utama adalah pembahasan tentang pengaturan kekuasaan kehakiman di dalam UUD 1945. Salah satu perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 adalah mengenai sistem kekuasaan negara yaitu diperkenalkannya prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balances. 

Sehingga agenda yang paling diutamakan pada saat itu adalah memperkuat supremasi hukum, salah satu usahanya dengan memperkuat kekuasaan kehakiman, terkhusus dalam hal kewenangan judicial review. Namun sebelum benar-benar berada pada kekuasaan kehakiman, MPR sempat menjadi lembaga negara yang memiliki kewenangan constitutional review sedangkan Mahkamah Agung tetap memiliki kewenangan judicial review. 

Hal tersebut diatur di dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan ditegaskan bahwa:

1) MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan;

2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Dalam praktiknya, Pasal 5 ayat (1) dan (2) Ketetapan MPR itu tidak terlaksana sepenuhnya. MPR sendiri hingga Ketetapan MPR tersebut dicabut belum pernah melaksanakan kewenangannya tersebut, sebaliknya Mahkamah Agung justru mulai banyak menangani perkara yang berkenaan dengan kewenangan judicial review yang dimiliki berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, baik melalui suatu proses gugatan maupun melalui permohonan.

Hingga pada akhirnya, kewenangan judicial review benar-benar diatur secara konstitutional di Indonesia pasca amandemen. Kewenangan judicial review oleh Mahkamah Agung diatur di dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, sedangkan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi diatur di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. 

Setelah berlakunya Pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi belum terbentuk secara kelembagaan. Namun hal tersebut telah dijawab oleh Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi harus terbentuk selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003. 

Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, segala kewenangan dari Mahkamah Konstitusi dijalankan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi baru benar-benar berjalan sendiri setelah pada tanggal 13 Agustus 2003, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi diundangkan dan pada tanggal 16 Agustus 2003 dan para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.

Secara konstitusional, mengenai kewenangan dari Mahkamah Agung diatur di dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Adapun yang menjadi kewenangan dari Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

1) Mengadili pada tingkat kasasi;

2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap udang-undang;

3) Kewenangan lainnya yang diatur di dalam undang-undang.

Mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi diatur di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Adapun yang menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

3) Memutus pembubaran partai politik;

4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Lebih lanjut, pengaturan tentang Mahkamah Agung diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Mengenai Mahkamah Konstitusi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 

Walaupun Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama  merupakan pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, namun Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah dua pengadilan yang berbeda secara kedudukan namun memiliki kedudukan yang sama di dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. 

Dalam hal kewenangan, kedua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut memiliki kewenangan judicial review, Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. 

Namun, dalam pelaksanaan kewenangan judicial review tersebut terdapat keterkaitan antara. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kedudukan hukum yang diuji dan yang dijadikan sebagai batu uji yang digunakan oleh kedua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut berbeda. Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. 

Sehingga, dapat dikatakan bahwa secara hierarki, hukum yang diuji oleh kedua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut berbeda kedudukannya. 

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan hiearki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4) Peraturan Pemerintah;

5) Peraturan Presiden;

6) Peraturan Daerah Provinsi;

7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Maka, ranah pengujian dari Mahkamah Agung adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Secara normatif, terdapat pengaturan yang menegaskan adanya titik singgung antara kewenangan judicial review di Mahkamah Agung dan di Mahkamah Konstitusi. 

Di dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi, ditegaskan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. 

Dengan penegasan tersebut, jelas bahwa kewenangan judicial review di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi berbeda secara hierarkis, kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih tinggi batu ujinya. Ini merupakan konsekuensi dari dianutnya pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945.

Namun, dengan adanya dualisme kewenangan judicial review di Indonesia secara praktik kedepan pasti akan menimbulkan konflik kelembagaan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menanggapi hal demikian tidak heran dalam perdebatan ilmiah pakar Hukum Tata Negara di Indonesia ada yang beranggapan bahwa perlu untuk memisahkan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan tegas, terkhusus mengenai kewenangan judicial review. Seperti yang diutarakan oleh Jimly Asshidiqie dan Maruarar Siahaan adalah contoh pakar hukum yang menolak adanya pemisahan kewenangan judicial review antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian sah-sahk saja dalam perdebatan ilmiah.

Judicial review di Indonesia bersifat dualisme, karena ada dua lembaga kekuasaan kehakiman sekaligus yang memiliki kewenangan tersebut, yaitu Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. 

Sehingga, apabila ada persinggungan saat menjalankan kewenangan judicial review antara MahkamaH Agung dan Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi tersebut menjamin harmonisasi materi peraturan perundang-undangan melalui mekanisme kontrol normatif.



Dasar hukum:

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

4. Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung


Referensi:

1. Buku Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung

2. Buku Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

3. Jurnal  Antoni Putra, “Dualisme Pengujian Perundang-Undangan”, Artikel Pada Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 15, No. 2 Juli 2018.

4. Jurnal Achmad dan Mulyanto, “Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) Pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”, Artikel Pada Jurnal Yustisia Vol. 2, No.1 Januari 2013.


Post a Comment

0 Comments