HUKUM VS PENDIDIKAN : MEMUTAR HALUAN SISTEM PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN INTERVENSI HUKUM

 Penulis : Viona Margareth

Berbicara mengenai sistem hukum di Indonesia tidak lepas kaitannya dengan keikutsertaan generasi dalam menjadi arsitek pembangunan di Indonesia. Dalam membangun sebuah gedung yang kuat, diperlukan tiang kokoh dan pondasi yang kuat untuk mengantisipasi dari terpaan badai yang berusaha menggoyahkan topangan dalam suatu bangunan. 

Begitu pula dengan Indonesia, dalam menyongsong transformasi peradaban yang kian berupaya menggoyahkan bangunan tersebut. Penulis sadari bahwa peran serta generasi sebagai pondasi sekaligus tiang tersebut harus kuat. 

Ironinya, generasi tidak lagi menjadi pondasi yang kuat! Potensi, kontribusi bahkan eksistensi kerap dipertanyakan. Ya penulis paham betul tidak semua generasi memiliki citra buruk. Banyak yang mengukir prestasi dan berjuang demi kemajuan bangsa. Namun coba kita mengembara ke daerah yang jauh dari jangkauan publik, apakah „pondasi‟ itu sama kuat? Pasal 1 ayat (3) UUD menegaskan, Negara Indonesia adalah negara hukum, tentunya menegaskan apapun jabatannya, siapapun individunya wajib memahami hukum. 

Terlebih Indonesia menganut asas fiksi hukum yang beranggapan, ketika sesuatu peraturan perundangundangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat). Keberadaan asas fiksi hukum telah dinormakan di dalam penjelasan pasal 81 ketentuan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan Tapi timbul suatu pertanyaan, bagaimana bisa asas fiksi hukum dapat berjalan optimal tanpa disertai „memperkenalkan‟ hukum/bahkan „melekatkan‟ hukum dalam segala tindak tanduk kehidupan manusia terkhusus generasi yang menjadi tulang punggung Indonesia? Mari teliti bersama! 

Pada UUD 1945 pasal 27 ayat (3), menegaskan bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu upaya untuk membangun dan mengembangkan semangat bela negara dalam pembangunan bangsa seperti halnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat (1) bahwa “pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.” 

Pembelajaran PPKN dalam setiap jenjang pendidikan diyakini mampu mengubah pola pikir dan pandangan masyarakat terkhusus generasi untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab, berintegrasi, dan berkarakter serta menjunjung tinggi cita-cita nasional. Namun pernahkan terbesit dalam pikiran kita, apakah benar telah terimplementasi sebagaimana yang diharapkan? Cukup menarik untuk diulas. 

Penulis kutip dari sindonews.com, Komisioner KPAI mengatakan, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan pada 2011 mencapai 695 orang, 2018 meningkat drastis menjadi 1.434 orang tindak kriminal seperti kejahatan jalan, pencurian, begal dan geng motor, bahkan pembunuhan mendominasi. Diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik, tren kenakalan dan kriminalits remaja mulai dari kekerasan fisik dan psikis menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2007, tercatat 3.145 remaja usia di bawah 18 tahun menjadi pelaku kenakalan dan tindak kriminal, tahun 2008-2009 meningkat menjadi 3.280 hingga 4.123 remaja. 

Pada tahun 2013 mencapai 6.325 kasus dan 147 kasus tawuran antar pelajar, sedangkan pada 2014 jumlahnya mencapai 7.762 kasus. Artinya tahun 2013-2014 mengalami kenaikan sebesar 10,7%. Degradasi moral telah terjadi! Dengan dimasukkannyapembelajaran PPKN, tidak mutlak memberikan hasil signifikan meningkatkan kualitas remaja. Kenakalan yang terus dipamerkan oleh generasis sudah cukup menjadi tamparan bagi setiap yang memandangnya! Jangan jadikan kenakalan ini sebagai tradisi! Mari bergandeng tangan untuk merubahnya! Sebab kenakalan remaja telah berimbas terhadap seluruh masyarakat terkhusus kaum wanita. Wanita juga kerap menjadi korban kekerasan generasi muda yang kian menggali jati dirinya. 

Kekerasan terhadap perempuan kini menjadi momok yang kerap menghantui baik yang telah menikah maupun belum. Hal itu dibuktikan dengan menilik data National Commission on Violence Against Women (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) menegaskan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 dicatat sebesar 299.911 kasus sedangkan Mitra Lembaga Layanan mencatat 8.234 kasus dan dapat diperinci, kasus KDRT sebanyak 79%(6.480 kasus), kekerasan fisik 2.025 kasus(31%), kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus(30%), psikis 1.792(28%), dan ekonomi 680 kasus(10%), percabulan 166 kasus, pelecehan seksual 187 kasus, persetubuhan 5 kasus, dan percobaan perkosaan 10 kasus. Lalu bagaimana solusi yang efektif? Bertitik tolak pada landasan di atas, solusi yang penulis tawarkan adalah pendidikan hukum. 

Masyarakat terkhusus remaja kerap mengenyampingkan aturan yang ada dan selalu menganggap hidup tanpa aturan. Para pencetus undang-undang kerap berasumsi, dengan memperberat ancaman pemidanaan mampu menekan angka kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum. Asumsi yang salah! Percuma saja hukuman terus ditingkatkan, peraturan terus dimodifikasi, dan peradilan terus berdiri dengan kokoh jika masyarakatnya tidak mengerti ius constitutum yang sedang berlaku. 

Percuma saja jika masyarakat tidak diedukasi dengan baik dan masyarakat dipaksa secara mandiri untuk paham hukum. Hukum bukanlah perkara mudah. Kendati hanya terkait susunan kata dalam suatu kitab dan berkas lainnya, namun pemidanaanya harus melewati rangkaian cukup panjang untuk mencapai gerbang keadilan. Semua akan sangat terasa sulit untuk dilalui jika buta hukum! 

Mari bersatu padu merumuskan kebijakan baru untuk mengikutsertakan pendidikan hukum dalam setiap jenjang pendidikan dan setiap program studi di perguruan tinggi. Pendidikan tidak boleh dilakukan secara sentral tetapi harus menyebar bahkan ke seluruh pelosok nusantara.


Post a Comment

0 Comments