Dialektika Omnibus Law Cipta Kerja Pada Hukum Indonesia

 Penulis : Samuel Ginting Suka

  

 Sumber Gambar :https://www.qureta.com/uploads/post/26000_71888.jpg


Metode Pembentukan UU dengan Metode Omnibuslaw cipta Kerja ini pertama kali di inisasikan oleh Premerintah pusat. Adapun tujuan Pemerintah mengajukan RUU ini adalah sebagai salah satu jalan keluar mengatasi obesitas regulasi dan mempermudah perizinan berusaha. Serta pengkerutan pengangguran di Indonesia. Omnibus Law Cipta kerja ini sejatinya memiliki derajat yang sama dengan UU yang lainnya, hal ini sesuai pada pasal 7 UU No 11 Tahun 2012. 

RUU Cipta Kerja memuat 11 klaster, 15 bab dan 174 pasal. RUU ini berdampak pada setidaknya 1.203 pasal dari 79 Undang-Undang. Beberapa ketentuan dari UU Ketenagakerjaaan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Administrasi Pemerintahan akan dihapuskan. Dalam konsiderannya, RUU Cipta Kerja disusun antara lain untuk menyerap banyak tenaga kerja, kemudahan berusaha, dan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan.

Omnibus Law adalah salah satu metode penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih dikenal dalam sistem hukum Common Law. Metode penyusunan perundang-undangan ini bersifat multi sektor yang mana menghimpun dan menyusun materi muatan dari berbagai UU yang memilki tema yang sama dari berbagai sektor. Karena terdiri atas banyak Peraturan Maka Metode ini akan memuat beratus atau beribu pasal yang akan akan di perbaiki. Baik itu dengan merefomulasi norma, menegasian atau penghapusan nonormadan menciptakan norma yang baru. Maka pastinya pembahasan ini akan membutuhkan dan menyita waktu yang lama dan kejelian, serta kehati-hatian dalam pembahasannya. Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dengan metode ini diharapkan akan menyelesaikan persoalan Tumpang tindih birokrasi dan regulasi , pendisharmoni prosedur, Pengkerutan obesitas Peraturan, atau ketidaksinkronan antar peraturan, menormakan ulang, atau dihapuskan sama sekali melalui omnibus law.

Adapun kelebihan metode penyusunan ini adalah, pertama dapat mempersingkat waktu perubahan dan pendisharmonian suatu perundang-undangan yang saling tumpang tindih, memang kita ketahui ada jalan Legislatif Review yaitu dengan pembahasan dan penyusunan UU DPR bersama dengan Presiden, serta DPD untuk hal yang berkaitan dengan regulasi daerah.  Ada juga dengan Yudisial Review  yaitu dengan melakukan pengujian meteriil suatu norma perundang-undangan terhadap Konstitusi Di Mahkamah Konstitusi.  Sudah pasti jika menepuh dua jalan tersebut akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan tidak efrktif untuk Mencari dan meyelesaikan permasalah yang membutuhkan waktu yang singkat. Kedua, efisiensi biaya proses pembuatan UU. Dalam pembuatan sebuah RUU dibutuhkan dana cukup besar, mulai pembuatan naskah akademik dengan menyerap aspirasi masyarakat, hingga pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Ketiga, harmonisasi pasal per-pasal dalam UU Omnibus Law bakal terjaga. Meski penggunaan metode omnibus law menimbulkan problematika di kalangan akademisi dan masyarakat, namun teknik membaca RUU pun dapat dilakukan dalam satu waktu, sehingga bisa menjaga keharmonisasian satu UU dengan UU lain.

Selain memiliki kelemahan metode ini memiliki kelemahan, yang antara lain. 1) Penyusunan dan pembahasan Yang sulit dilakukan mendalam, mengingat banyak Pasal yang menunggu untuk dibahas. 2) Kesulitan untuk melakukan penelitian yang seimbang antar DPR dan Pemerintah Pusat (Presiden bersama Kabinet kerjanya). 3) Pembengkakan DIM atau daftar Inventaris Masalah. 4) Minimnya partisipasi Publik. 5) Kecenderungan untuk dilakukannya revisi besar-besaran akibat ketidakjelian dan tidak hati-hati untuk melakukan pembahsan mendalam dalam perumusan norma karena pasal yang begitu menumpuk untuk dibahas. 6) Tidak adanya payung hukum dalam penetapan, serta prosedur penyusunan metode Omnibus law di Indonesia.

Prof Jimly Asshidiqqie mengatakan, metode penyusunan omnibus law perlu diterapkan dalam perundang-undangan Indonesia. Namun, dia menekankan metode omnibus law tersebut jangan dipersempit untuk kebutuhan investasi saja dengan RUU Cipta Kerja. Dia mengatakan muatan RUU Cipta Kerja terlalu luas sehingga pembahasannya tidak fokus dan berdampak terhadap kualitas UU tersebut. Dia juga menambhkan membahasan RUU ini tidak relevan dengan situasi Pandemi saat ini, terlebih juga, RUU cipta kerja ini juga berpotensi merusak lingkungan.

Dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Indonesia hanya mengenal setidaknya ada 3 cara dalam membentuk suatu Peraturan-perundang undangan.  Yaitu pertama,  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan menggunakan RUU dan NA (Naskah akademik) dapat Dilihat pada Pasal 43 ayat (3) dan (4) huruf c UU No. 12 Tahun 2011.

Kedua, Pencabutan UU tanpa Naskah Akademik. Prof. Maria Farida didalam Bukunya Ilmu perundang-undangan proses dan teknik pembentukannya menjelaskan bahwa secara teori, Pencabutan UU dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Pencabutan dengan Penggantian. 

Pencabutan dengan penggantian terjadi apabila suatu undang-undang yang ada digantikan dengan suatu UU yang baru. Apabila ketentuan pencabutan tersebut diletakkan di depan (dalam Pembukaan), maka ketentuan pencabutan ini berakibat bahwa undang-undang yang dinyatakan dicabut itu akan tercabut beserta akar-akarnya, dalam arti undang-undang tersebut tercabut beserta seluruh peraturan pelaksanaannya. Apabila ketentuan pencabutan tersebut diletakkan di belakang (dalam Ketentuan Penutup), undang-undang yang dicabut itu akan tercabut, tetapi tidak beserta akar-akarnya, dalam arti undang-undang tersebut tercabut akan tetapi peraturan pelaksanaannya masih dapat dinyatakan berlaku.

2. Pencabutan tanpa Penggantian  

Ialah pencabutan suatu Perundang-undangan tanpa diadakannya UU yang baru. Meskipun secara teori terdapat dua jenis pencabutan UU, namun didalam Lampiran II Nomor 146 UU 12/2011 kita aoan melihat hanya satu pencabutan, yaitu pencabutan undang-undang yang diletakkan dalam Ketentuan Penutup. Ketiga Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional yang dilakukan melalui UU apabila berkenaan dengan situasi yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 Ayat (1) huruf c UU nomor 11/2012.

Dr. Zainal Arifin Mochtar memberikan pernyataan sikapnya terhadap omnibus law cipta kerja ini yang terkesan tidak melibatkan partisipas publik, dan kurang nya transparansi dalam penyusunan cipta kerja ini, bahkan sebagian lembaga negaraantar kementrian dan beberapa anggota Badan legislasi saja tidak menerima draf finallnya. Pembahasan nuga yang terkesan terlalu cepat dan tidak melibatkan Stakcholder terkait, sedangkan pelibatan pihak-pihak begotu selektif, sehingga di pilih beberapa berdasarkan orang orang yang mendukung saja, dan menyampingkan orang-orang atau instansi yang menolak.

Dari uraian diatas duah lah jelas kita ketahui bahwa Teknik dan Metode Omnibus Laa ini tidak dekanal pada Hukum Indonesia, Karna itu UU Cipta kerja ini sangat mungkin untuk dilakukan pengujian Formil ke MK untuk melihat dan menilai kelayakan Pengesahan peraturan perundang-undangan cipta kerja.

Sumber Bacaan :

Maria Farida, Ilmu Ilmu perundang-undangan proses dan teknik pembentukannya.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e95cd1fe904b/plus-minus-metode-penyusunan-omnibus-law-di-mata-akademisi?r=1&q=omnibus%20law&rs=2000&re=2020

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5f7ad4c048f87/mengenal-metode-omnibus-law?page=all

Sekian, Salam Justitia!
 

 

Post a Comment

0 Comments