Khayalan Pemimpin Bertintegritas Pilkada 2020

Penulis : Jaya Hasiholan Limbong (Mahasiswa Universitas Lampung)


Pemprov Sumsel Sudah Bantu Dana Pilkada 2020 untuk Kabupaten/Kota –  SUMEKS.CO 

Sumber gambar : https://sumeks.co/pemprov-sumsel-sudah-bantu-dana-pilkada-2020-untuk-kabupaten-kota/

 

Sebentar lagi pesta demokrasi rakyat akan segera dimulai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyatakan siap melaksanakan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak  pada desember 2020. Ada sekitar 270 daerah yangakan menggelar pesta demokrasi rakyat ditengah pandemi Covid-19. Dengan disertai juga harapan-harapan baru agar terpilihnya pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab penuh atas jabatan yang diembannya. Tapi mungkinkah hal itu bisa terjadi, melihat juga kontestasi demokrasi pilkada kita masih diangka 58%?

Mungkin pertanyaan itu pernah terlintas dipikiran banyak orang tentang bisakah terpilihnya pemimpin yang berintegritas di pilkada 2020. Lantas belakangan ini jawaban itu seakan-akan mulai terbuka sedikit demi sedikit. Dengan melihat kondisi hari demi hari menuju Pilkada serentak, yang dimana rasa optimis mendapatkan pemimpin berintegritas mulai terkikis. Melihatdari adanya temuan pelanggaran pilkada oleh Calon Petahana sampai adanya konflik kepentingan kekuasaan, yang semuanya digunakan untuk bisa memenangkan kontestasi Pilkada.

Pelanggaran dan Konflik itu terjadi karena ada jabatan Kepala daerah beserta kekuasaan yang melekat, yang bisa didapatkan apabila memenangkan konstestasi Pikada nantinya. Jadi wajar saja para calon peserta Pilkada pun mulai mengambil ancang-ancang langkah politik jauh jauh hari. Seperti pendekatan kepartai politik, pemasangan banner secara diam-diam sampai menggalang simpatisan rakyat. Agar terlihat menawan dimasa sekarang yang semua orang lagi dalam kesusahan. Sebagai modal awalagar bisa memenangkan konstestasi Pilkada 2020.

Bukan hal yang baru melihat cara-cara tersebut dilakukan oleh calon peserta Pilkada. Jika merunut kebelakang pada saat Indonesia mengumumkan era reformasi, dari pertama diselelenggarakannya Pilkada sampai sekarang. Cara-cara mereka mengambil suara rakyat menjelang Pilkada hampir terbilang sama. Denganjurus utamanya yaitu janji-janji politik untukmembuat masyarakat terbuai dan bergembira sesaat,yang pada akhirnya banyak janji-janji tidak terealisasi.

Bahkan jika janji-janji dilihat belum bisa mengambil hati rakyatnya. Ada cara lain untuk mengambil suara rakyat yaitu dengan melakukan money politik. Baik dari calon petahana yang bisa menggunakan bansosnya dengan menyelipkan foto dan arahan tertentu,maupun pihak lawan yang bisa menggunakan uang-uang tersembunyi melalui para tim sukseknya untuk disalurkan kepada masyarakat-masyarakat golongan menengah kebawah.

Pilkada Panggung Kekuasaan

Cara-cara tersebut menjadi hal biasa ditengah masyarakat, bahkan mungkin sudah menjadi budaya di Indonesia?Bagaimana tidak, Pilkada yang seharunya diharapkan sebagai penyaring pemimipin-pemimpin berintegritas yang bisa mengayomi rakyatnya boleh dibilang hanya khayalan belaka saja. Dan lebih tepatnya sebagai panggung pencari kekuasaan.

Hal tersebut terbukti dengan banyaknya calon peserta pilkada saling senggol-menyenggol belakangan ini untuk mendapatkan dukungan maju dalam Pilkada. Seperti kejanggalan pencalonan Putra Presiden Jokowi (Gibran Raka Buming Raka) yang mampu menggeser Achmad Purnomo yang sebelumnya sudah diusulkan DPC PDIP Solo dan Menantu Presiden (Bobby Nasution) yang maju Pilkada yang mengakibatkan pemecatan salah satu kader PDIP.

Bukan sampai disitu saja, perihal Pilkada sebagai panggung kekuasaan juga terlihat dengan adanya 224 Calon petahana yang menyatakan dirinya siap maju lagi dalam  pilkada serentak 2020. Calon-calon ini punya potensi menyalahgunakan kekuasaannnya. Seperti mempergunakan Aparatur Sipil Negara (ASN), sarana dan prasarana. Apalagi terkait dengan adanya penggunaan bansos ditengah pandemi Covid-19 sekarang. 

Belum lagi para peserta Pilkada nantinya memakai unsur-unsur ujaran kebencian, yang bisa membagi-bagi kubu pembela masing-masing peserta Pilkada. Seperti Pilkada 2017 lalu di DKI Jakarta, dimana persaingan memanas dengan membawa nama agama, etnis bahkan sampai salah satu peserta Pilkada masuk kedalam penjara. Hal ini pun menbuktikan betapa kerasnya persaingan dalam merebut kekuasaan.

Pemimpin Beintegritas?

Lantas harapan-harapan untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin berintegritas untuk bertangung jawab terhadap jabatannnya sepertinya hanya Khayalan belaka. Bukan sekali ataupun dua kali mereka “Peserta Pilkada” lupa akan janjinya setelah terpilih dikemudian hari. Apalagi yang mengecewakan sudah ada ratusan lebih kepala daerah yang telah di vonis hakim bersalah melakukan tindak pidana Korupsi yang mengambil uang rakyatnya sendiri.

Hal ini menjadi tanda tanya besar akan seriuskah mereka memperbaiki bangsa dengan melihat di pilkada-pilkada sebelumnya banyak masyarakat yang kecewa, marah, sedih. Yang rasa itu sudah biasa dirasakan oleh rakyat Indonesia dalam pemilihan Kepala Daerah.Pedahal Pilkada merupakan pesta demokrasi raktyat yang seharusnya rakyat bergembira pada saat itu. Pesimis itu pasti jika melihat kondisi konstestasi Pilkada sekarang sama saja dengan konstestasi-konsterstasi sebelumnya. Hanya mementingkan kekuasaan semata, dengan berdalil “untuk kepentingan rakyat”.

Post a Comment

0 Comments