Prof. Lon Luvis Fuller adalah seorang filosof hukum
terkemuka abad 20, beliau adalah seorang guru besar Ilmu hukum di Universitas
Harvard. Penulis sendiri sering menemukan nama Prof. Lon Luvis Fuller bila membaca buku-buku filsafat hukum. Sering
didapati dibuku-buku filsafat hukum, terutama apabila membaca subbab yang
membahas kritik terhadap legal positivism,
tidak jarang Prof. Lon Luvis Fuller menjadi
nama pertama yang muncul sebagai pengkritik pemikiran legal positivism klasik yang dipelopori oleh Prof. Jhon Austin. Mengutip
apa yang dituliskan oleh Prof. Bernard
L. Tanya dalam bukunya, Prof. Jhon
Austin dalam sebuah karya buku yang ditulisnya berjudul The Province of Jurisprudence Determined telah
menggeser cita-cita tentang keadilan (idea
of justice) yang digaungkan oleh para penganut aliran hukum kodrat (Penulis
lebih memilih menggunakan diksi kodrat dari pada Alam, akan dibahas ditulisan
lainnya) dengan mengubahnya menjadi perintah yang berdaulat (command of sovereign). Dalam hal ini, Prof. Jhon Austin berdalil, bahwa hukum
adalah suatu peraturan yang dibuat untuk mempergunakan sebagai pedoman makhluk
berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan terhadapnya. Bedarkan pengalaman
yang ditemui oleh Prof. Jhon Austin dalam
kesehariannya, bahwa hukum positif berakar sepenuhnya dari fakta-fakta empiris
yang bersumber dari ketentuan berdaulat. Dari pemikiran yang disumbangkan oleh Prof. Jhon Austin tersebut, memunculkan
kenyakinan tiada hukum tanpa perintah penguasa bedaulat. Doktrin tentang
perintah inilah yang banyak dikritik oleh pemikir-pemikir hukum karena menjadi
sulit membedakan perintah hukum dengan perintah seorang penodong. Salah satupemikir
hukum yang mengkritik pemikiran Prof. Jhon
Austin adalah Prof. Lon Luvis Fuller.
Penekanan Prof. Lon Luvis Fuller adalah tentang
moralitas, Prof. Lon Luvis Fuller berpendapat
pemikrian yang telah disampaikan oleh Prof.
Jhon Austin benar-benar tidak menyentuh moralitas dalam penegakan hukum. Sedikit
kita ambil contoh bagaimana sebenarnya hukum tanpa moral atau hanya sebatas
perintah semata?. Nazi Hitler adalah
contoh yang sempurna untuk dalam hal ini. Kita ketahui pada rezim Adolf Hitler, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan dimana dengan membentuk Undang-undang nuremberg pada
tahun 1935, pembunuhan massal pada RAS yahudi diaminkan, sehingga melahirkan
salah satu pembataian umat manusia terbesar dalam sejarah (Holocaust). Hal seperti itu yang
dikhawatirkan oleh Prof. Lon Luvis
Fuller akan terjadi apabila hukum positif diartikan demikian.
Maka dari
itu Prof. Lon Luvis Fuller
mengatakan ada 8 (delapan) prinsip suatu hukum yang harus dipenuhi, materi ini
akan kita dapati dalam bukunya yang berjudul The Morality of Law, Beliau mengatakan ada prinsip-prinsip hukum
baik yang harus dipenuhi suatu hukum yang disebut Beliau sebagai Moralitas
Ekstenal dan Moralitas Internal. Moralitas Eksternal adalah masalah yang
berkaitan dengan isu keadilan, hak asasi manusia, solidaritas dan empati
terhadap kaum tertindas. Adapun yang dimaksud dalam hal ini sebagai Moralitas
Internal adalah sebagai berikut :
1. Suatu sistem
hukum harus mengandung aturan-aturan yang bersifat standar, tidak boleh memuat
atau terdiri dari putusan-putusan yang bersifat khusus. Bagaimana dengan
standar hukum adat di Indonesia yang merupakan hukum asli Bangsa Indonesia?
semoga kondifikasi dan unifikasi hukum tentang hal ini cepat terealisasikan
2. Aturan yang
telah dibuat harus diumumkan agar orang mengetahui norma-norma tersebut serta
dapat dipakai sebagai pedoman tingkah laku, ini jelas sangat bertentangan
dengan asas fiksi hukum yang dikenal di Indonesia.
3. Tidak boleh
aturan yang bersifat surut, sebab memperbolehkan aturan berlaku surut akan
merusak integritas aturan yang ditujukan untuk berlaku pada masa yang akan
datang. Dalam hukum Indonesia sendiri ada pasal yang telah melanggar asas non
retroaktif, yakni pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, dimana pengadilan Ad Hoc (Pelanggaran HAM) ini dapat mengadili
pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000.
4. Sebuah aturan
harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti atau mudah dimengerti. Bagaimana
dengan hukum di Indonesia terkhusus dalam hal ini adalah di dalam
undang-undang? Penulis atas dasar kerendahan hati dan kependedekan pengetahuan
yang dimiiliki mengatakan masih kurang, bahasa baku dalam suatu undang-undang
ditambah beberapan pasal yang tidak dijelaskan dengan hanya menuliskan “cukup
jelas” di bagian penjelasan masih dianggap mempersulit masyarakat umum untuk memahami
makna dalam suatu pasal, pedapat Penulis ini juga didukung juga oleh pendapat
yang diutarakan oleh Prof. Acmad Ali dalam
bukunya.
5. Suatu sistem
hukum tidak boleh mengandung aturan-aturan yang berkontradiksi satu sama lain. Aturan
perundang-undangan khususnya dalam hal ini di Indonesia masih sering terjadi,
sehingga Penulis setuju dengan metode Omnibus Law yang mulai dipergunakan di
Indonesia, memperkecil kontradiksi antar Undang-undang.
6. Aturan tidak
boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. Artinya hak
dan kewajiban harus setara, walau dalam konsep hukum kita lebih mengutamakan
kewajiban demi tercapainya hak, dan pemenuhan atas hak, terkhusus hak
konstitusional dalam hal ini masih belum jalan sesuai dengan yang diharapkan di
negara kita, Indonesia.
7. Tidak boleh
ada kebiasaan untuk sering mengubah aturan karena akan menyebabkan orang
kehilangan orientasi. Hal ini selaras dengan pendapat K.C Where yang Belia sebutkan dalam bukunya (versi terjemahan) yang
diadapati Penulis. K.C. Where berpendapat
bahwa Konstitusi suatu negara itu harus dibuat prosedur perubahannya sesulit
mungkin demi menjaga konsistensi penegakan hukum suatu negara, di Indonesia sendir
ini telah diterapkan. Hal demikian dapat kita lihat dalam BAB XVI pasal 37 UUD
1945.
8. Harus ada
kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari atau
penegakan dalam kasus nyata. Yang dimaksud disini adalah kesesuaian antara Das Sollen dan Das Sein. Indonesia
sendiri menurut Penulis masih belum bisa dinilai seluruhnya, secara hukum yang
berlaku di Indonesia bersifat Hibrida, sulit menentukan jati diri hukum
sebenarnya, walau memang para ahli hukum di Indonesia mengatakan bahwa sistem
hukum di Indonesia adalah sistem hukum Pancasila.
Sekian ulasan
tentang pemikir hukum terkemuka yang pada kesempatan kali ini Penulis bawakan
adalah pemikiran Prof. Lon Luvis Fuller tentang
prinsip-prinsip hukum yang harus dipenuhi dalam suatu hukum. Sekian dan
terimakasih.
Salam Justitia!
Catatan Penulis : Kenapa Penulis tidak mencantumkan sumber pustaka? Penulis bukannya tidak mencantumkannya, disetiap tulisan yang ditulis oleh Penulis (Geofani Milthree Saragih) selalu ditautkan dalam tulisannya, hal ini agar pembaca benar-benar membaca tulisan dari Penulis, terimakasih.
Catatan Penulis : Kenapa Penulis tidak mencantumkan sumber pustaka? Penulis bukannya tidak mencantumkannya, disetiap tulisan yang ditulis oleh Penulis (Geofani Milthree Saragih) selalu ditautkan dalam tulisannya, hal ini agar pembaca benar-benar membaca tulisan dari Penulis, terimakasih.
0 Comments
Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)