PERKEMBANGAN TEORI STATUTA

Penulis: Maida Aulia Dahniel dan Geofani Milthree Saragih




Hallo para pembaca yang setia, dimanapun kamu berada semoga selalu sehat dan terhindar dari wabah Pandemi Covid-19. Baik kali ini Penulis akan membahas mengenai perkembangan teori statuta, dimana materi ini dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, serta sangat dibutuhkan terutama bagi rekan-rekan yang sedang belajar Hukum Perdata Internasional (HPI). Sama sama kita ketahui disetiap Abad akan selalu ada teori-teori yang baru dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan keadaan masyarakat Internasional saat itu (tidak adak aksioma yang abadi). Perkembangan teori statuta dipelopori oleh tokokh-tokoh internasional yang sangat paham akan aturan atau hukum yang berkaitan dengan dunia Internasional. Baik disini Penulis akan memberikan sedikit penjelasan mengenai Perkembangan Teori Statuta. Teori statuta sendiri muncul akibat meningkatnya pertumbuhan kota-kota perdagangan (stadstaten) yang awalnya terjadi di Italia (abad 11-12 M, terutama abad 13 M) sehigga menimbulkan bergesernya sistem personalitas daripada hukum. Berdasarkan tulisan Prof. Sudargo Gautama, hingga akhir abad 10 M dikatakan bahwa telah berlangsung sistem personalitas terutama di negara-negara eropa. Setelah itu sistem personil bergeser ke sistem teritorial. Adapun yang mengakibatkan bergesernya sistem ini adalah akibat semakin berkembangkan feodalisme terkhusus di eropa bagian utara. Feodalisme melawan personalitas. Hamba yang berada dalam suatu sistem feodal ini harus mengakui sepenuhnya hukum daripada Tuannya, sehingga hukum yang berlaku di tanah sang Tuan adalah hukum atas kehendak Tuan tersebut. Maka dari itu hukum personil tidak akan diperhatikan dalam keadaan ini. Dibagian selatan eropa pada masa itu tumbuh secara pesat kota-kota perdagangan di Italia. Adapun kota-kota yang dimaksud seperti Milan, Pisa, Venetia, Modena, Genoa, Florence, Siena, Amalfi dan sebagainya. Akibat semakin luasnya hubungan akibat perdagangan antar kota ini mengakibatkan sering terjadi kerancuan dalam penegakan hukum, terkhusus dalam hal ini adalah lingkup perdata, hal ini diakibatkan karena setiap kota-kota tersebut memiliki hukumnya masing-masing. Inilah yang menimbulkan peralihan hukum yang begitu ketara dari hukum yang berlaku pada masa romawi. Dengan demikian sangat jelas bahwa prinsip teritorial pada masa ini berlaku, hidup dan berkembanglah teori statuta. Adapun garis besar perkembangan teori statuta yang akan dibahas ada 4 (empat), yaitu sebagai berikut :

A.Teori Statuta Italia (Abad ke 13-15 M)
Teori statuta italia merupakan  teori statuta paling tua dari teori statuta lainnya, dan ini merupakan awal dari berkembangnya teori statuta. Adapun penekanan teori statuta Italia adalah adanya suatu pembaharuan terhadap asas teritorial yang awalnya berlaku di Italia akibat tingginya perdagangan antar kota di Italia (contoh : kota genoa dengan milan). Dengan semakin berkembangnya perdagangan antar (warga) kota-kota di Italia tersebut di atas, maka penerapan asas teritorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali. Accursius adalah tokoh awal dari kelompok post-glossators yang melakukan usaha untuk mencari asas-asas hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini, adagium terkenalnya mengatakan, apabila seseorang berasal dari suatu kota tertentu di Italia digugat di kota lain, maka ini tidaklah dibenarkan, karena pada hakikatnya orang tadi tersebut bukanlah subjek hukum di kota tempat ia digugat. Hal ini diatur dalam teks Codex Justianus ditemukan oleh Accurius (1128) yang pada pokoknya menyatakan: "Apabila seorang warga Bologna digugat di Modena, maka ia jangan diadili menurut statuta Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga, oleh karena dalam Undang-Undang, Conctus popolos telah ditentukan...quos nostrae clementiae rigit imperium". Doktrin yang di introduksikan Accursius tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh hukum lainnya yang melakukan penelitian untuk mengembangkan asas-asas yang tepat untuk digunakan. Bartolus salah satu tokoh paling berpengaruh dengan mencetus teori statuta, karena hal ini Bartolus sering disebut sebagai Bapak HPI, karena begitu besarnya pengaruh teori statutanya tersebut dikemudian hari. Adapun objek pengaturan teori statuta ini dibagi atas 3 yaitu :
-Statuta Personalia, yaitu statuta yang memiliki lingkungan kuasa secara personal yang mengatur status personal seseorang dan status orang dalam hal ini mengenai pribadi dan keluarga, adapun statuta ini berlaku secara ekstrateritorial, artinya berlaku juga bagi daerah penguasa dan di luar tempat si subjek hukum tadi melakukan tindakan hukumnya (diluar daerah penguasanya). Ini sama dengan asas nasionalitas aktif dalam KUHP Indonesia.
-Statuta Realia, yaitu statuta yang mengatur tentang benda dan status benda  tersebut. Statuta ini bersifat teritorial, yaitu hanya berlaku di mana kedudukan penguasa terkait, artinya orang yang masuk kedalam daerah kekuasaanya harus tunduk pada hukum yang diberlakukan penguasa tadi. 
Kemudian, murid Bartolus, yakni Baldus menyempurnakan teori gurunya tersebut dengan menambahkan :
-Statuta Mixta, yaitu statuta yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan hukum, yang dimana dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum (benda). Statuta ini bersifat teritorial, yakni berlaku di daerah penguasa yang memberlakukan statuta mixta tersebut, sama dengan statuta realia.
Statuta-statuta diataslah yang menjadi penekanan dalam Teori statuta klasik, dimana pemikir paling berpengaruhnya adalah AccursiusBartolus dan Baldus.
Berdasarkan doktrin statuta di atas, kemudian dikembangkan metode berpikir Hukum Perdata Internasional (HPI), yaitu:
a. Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut persoalan status suatu benda, maka kedudukan hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia dari tempat dimana benda itu berada. 
b. Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statuta personalia dari tempat dimana orang tersebut berdomisili (lex domicilii); dan
c. Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan bentuk atau akibat suatu oerbuatan hukum, maka bentuk dan akibat hukum tersebut harus tunduk pada kaidah-kaidah statuta mixta dari tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan. 

B.Teori statuta Prancis (Abad 16 M)
Pada abad 16, provinsi-provinsi di Perancis memiliki sistem hukum  sendiri-sendiri yang disebut costume, yang pada hakikatnya sama dengan statuta. Nah, dikarenakan adanya keberagaman costume sehingga ini menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum terhadap warga yang berasal dari provinsi lain, sedangkan mengenai perdagangan antar provinsi semakin meningkat, maka konflik hukum antar provinsi meningkat pula. Maka dari itu muncul pemikir-pemikir Perancis yang menaruh perhatiannya mengenai ini, yaitu Charles Dumolin dan D’ArgentreDumolin adalah seorang Humanis sejati, hal ini tampak dari cara pandangnya terhadap permasalahan hukum yang terjadi di Perancis, dalam masal diatas, Charles Dumolin mengatakan bahwa pada dasarnya, antar individu itu bebas dalam menentukan hukum yang akan digunakan, yang akan dituangkan dalam suatu bentuk kebebasan berkontrak, hal ini merupakan suatu jalan tengah yang adil menurut Charles Dumolin. Maka sumbangan pemikiran dari  Charles Dumolin pada teori statuta Perancis adalah kebebasan berkontrak tersebut. Sedangkan D’Argentre lebih menekankan pendapatnya terhadap tempat dilakukannya tindakan hukum, dimana D’Argentre mengatakan bahwa hukum yang semestinya diberlakukan adalah hukum otonom daerah terkait, bukan hukum subjek hukum terkait, sehingga apabila misalnya Sugi berasal dari kota A, lalu melakukan tindakan hukum yang berkenaan dengan benda di kota B, hukum yang diberakukan adalah hukum otonom benda tersebut, yaitu B. Inilah pemikiran paling berpengaruh dari teori statuta perancis.


C. Teori statuta Belanda (Abad 17M)
Teori ini lebih modern dari teori stauta Italia dan Perancis, masa ini Belanda sudah dalam bentuk sebuah negara, maka kaitannya adalah mengenai kedaulatan ekslusif negara. Prinsip dasar yang dijadikan titik tolak dalam teori statuta Belanda adalah kedaulatan eksklusif negara.  Jadi, statuta yang dimaksud adalah hukum negara yang berlaku di dalam teritorial suatu negara. Sehingga teori statuta Belanda ini menyatakan bahwa satuta yang berlaku adalah statuta negara itu sendiri di wilayahnya, sama dengan asas yang dianut dalam KUHP Indonesia, teritorial. Pemikir berpengaruh Belanda adalah Huber dan Johannes VoetHuber mengatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan untuk menegakkan kaidah HPInya di wilayahnya. Negara tesebut juga tidak dapat melakukan tindakan sepihak saja, karena ada comitas gentium, yaitu mengakui juga mengenai suatu hak yang telah diperoleh dari negara lain. Sedangkan Johannes Voet mengembangkan comitas gentium Huber, dimana Voet mengatakan dalam menegakkan comitas gentium adalah untuk menjaga rasa saling menghormati pada negara lain, namun tidak adal kewajiban suatu negara harus menggunakan kaidah HPI negara lain dalam menangani suatu masalah HPI. Ini lah penekanan dari teori satuta Belanda, yang lebih modern objek penekanannya.
Dewasa ini teori comitas gentium itu sudah banyak ditinggalkan oleh para pakar hukum. Chesire misalnya menyatakan bahwa penggunaan hukum asing hanyalah disebabkan keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya (the desire to do justice). Jadi, tidak berdasarkan rasa saling menghormati dan bukan pula merupakan perongrongan kedaulatan negara sendiri. 

D. Teori-teori Modern (Abad 19M)
Pemikiran mengenai HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang pakar hukum, yaitu Joseph Story, Friedrich Carl von Savigny, dan Pasque Stanislao Manchini. Dimana titik tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu hubungan hukum yang sama harus memberikan penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim di negara A maupun di negara B. Penyelesaian permasalahan yang menyangkut unsur-unsur asing pun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana. Titik tolak pemikiran Von Savigny adalah bahwa HPI bersifat supranasional, maka HPI bersifat universal atau lebih tepat pemikiran Von Savigny ini disebut dengan istilah Teori HPI universal. Pengembangan teori ini oleh Von Savigny sebenarnya merupakan reaksi atas pola pikir statuta Italia yang dianggap memiliki banyak kelemahan. Pemikiran Von Savigny juga berkembang setelah didahului oleh pemikiran ahli hukum Jerman lain, yaitu C.G von Wachter.  Pandangan Von Wachter mengkritik teori statuta (Italia) yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia menolak adanya sifat ekstrateritorial dari suatu aturan (seperti statuta personalia) karena adanya aturan seperti itu akan menyebabkan timbulnya kewajiban hukum di negara asing.  Von Wachter berasumsi bahwa "Hukum intern forum hanya dibuat untuk dan hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu, dalam perkara-perkara HPI, forumlah yang harus menyediakan kaidah-kaidah dalam HPI atau menentukan hukum apa yang harus berlaku." Selanjutnya  menurut Manchini, hukum personal seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Manchini ini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia, ada 2 (dua) macam kaidah dalam setiap sistem hukum, yaitu:
a. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perorangan; dan
b. Kaidah hukum yang melindungi dan menjaga ketertiban umum (public order). 

Manchini menginginkan terciptanya unifikasi HPI melalui perjanjian-perjanjian internasional, sedangkan Von Savigny menghendaki terwujudnya suatu HPI yang bersifat supranasional. Namun, kenyataannya hingga kini, belum dapat diciptakan suatu HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hukum harus diselesaikan menurut caranya sendiri, dan ini pun bergantung pada kebiasaan, undang-undang, serta yurisprudensi masing-masing masyarakat hukum. Walaupun demikian, dari waktu ke waktu perjanjian internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah HPI makin bertambah terus.


Sekian tulisan yang dapat kami buat dalam kesempatan kali ini mengenai Perkembangan Teori Statuta, semoga bermanfaat bagi kita semua. 


Salam Justitia!







Sumber bacaan dari: 

Khairandy, Ridwan. 2007. Pengantar Hukum Perdata Internasional. Yogyakarta: FH UII Press.

Hardjowohono, Bayu Seto.2013. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 

Gautama, Sudargo. 2008. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: PT Alumni 

Post a Comment

0 Comments