Hallo para pembaca yang setia, dimanapun
kamu berada semoga selalu sehat dan terhindar dari wabah Pandemi Covid-19. Baik
kali ini Penulis akan membahas mengenai perkembangan teori statuta, dimana
materi ini dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, serta sangat dibutuhkan
terutama bagi rekan-rekan yang sedang belajar Hukum Perdata Internasional
(HPI). Sama sama kita ketahui disetiap Abad akan selalu ada teori-teori yang
baru dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan keadaan masyarakat Internasional
saat itu (tidak adak aksioma yang abadi). Perkembangan teori statuta dipelopori
oleh tokokh-tokoh internasional yang sangat paham akan aturan atau hukum yang
berkaitan dengan dunia Internasional. Baik disini Penulis akan memberikan
sedikit penjelasan mengenai Perkembangan Teori Statuta. Teori statuta sendiri
muncul akibat meningkatnya pertumbuhan kota-kota perdagangan (stadstaten)
yang awalnya terjadi di Italia (abad 11-12 M, terutama abad 13 M) sehigga
menimbulkan bergesernya sistem personalitas daripada hukum. Berdasarkan
tulisan Prof. Sudargo Gautama, hingga akhir abad 10 M dikatakan
bahwa telah berlangsung sistem personalitas terutama di negara-negara eropa.
Setelah itu sistem personil bergeser ke sistem teritorial. Adapun yang
mengakibatkan bergesernya sistem ini adalah akibat semakin berkembangkan
feodalisme terkhusus di eropa bagian utara. Feodalisme melawan personalitas.
Hamba yang berada dalam suatu sistem feodal ini harus mengakui sepenuhnya hukum
daripada Tuannya, sehingga hukum yang berlaku di tanah sang Tuan adalah hukum
atas kehendak Tuan tersebut. Maka dari itu hukum personil tidak akan
diperhatikan dalam keadaan ini. Dibagian selatan eropa pada masa itu tumbuh
secara pesat kota-kota perdagangan di Italia. Adapun kota-kota yang dimaksud
seperti Milan, Pisa, Venetia, Modena, Genoa, Florence, Siena, Amalfi dan
sebagainya. Akibat semakin luasnya hubungan akibat perdagangan antar kota ini
mengakibatkan sering terjadi kerancuan dalam penegakan hukum, terkhusus dalam
hal ini adalah lingkup perdata, hal ini diakibatkan karena setiap kota-kota
tersebut memiliki hukumnya masing-masing. Inilah yang menimbulkan peralihan
hukum yang begitu ketara dari hukum yang berlaku pada masa romawi. Dengan demikian
sangat jelas bahwa prinsip teritorial pada masa ini berlaku, hidup dan
berkembanglah teori statuta. Adapun garis besar perkembangan teori statuta yang
akan dibahas ada 4 (empat), yaitu sebagai berikut :
A.Teori Statuta Italia (Abad ke 13-15 M)
Teori statuta italia merupakan teori
statuta paling tua dari teori statuta lainnya, dan ini merupakan awal dari
berkembangnya teori statuta. Adapun penekanan teori statuta Italia adalah
adanya suatu pembaharuan terhadap asas teritorial yang awalnya berlaku di
Italia akibat tingginya perdagangan antar kota di Italia (contoh : kota genoa
dengan milan). Dengan semakin berkembangnya perdagangan antar (warga) kota-kota
di Italia tersebut di atas, maka penerapan asas teritorial tidak dapat
dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali. Accursius adalah
tokoh awal dari kelompok post-glossators yang melakukan usaha
untuk mencari asas-asas hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini,
adagium terkenalnya mengatakan, apabila seseorang berasal dari suatu kota
tertentu di Italia digugat di kota lain, maka ini tidaklah dibenarkan, karena
pada hakikatnya orang tadi tersebut bukanlah subjek hukum di kota tempat ia
digugat. Hal ini diatur dalam teks Codex Justianus ditemukan oleh Accurius (1128)
yang pada pokoknya menyatakan: "Apabila seorang warga Bologna digugat di
Modena, maka ia jangan diadili menurut statuta Modena dari kota mana ia bukan
merupakan warga, oleh karena dalam Undang-Undang, Conctus popolos telah
ditentukan...quos nostrae clementiae rigit imperium". Doktrin
yang di introduksikan Accursius tersebut kemudian dikembangkan
lebih lanjut oleh beberapa tokoh hukum lainnya yang melakukan penelitian untuk
mengembangkan asas-asas yang tepat untuk digunakan. Bartolus salah
satu tokoh paling berpengaruh dengan mencetus teori statuta, karena hal
ini Bartolus sering disebut sebagai Bapak HPI, karena begitu
besarnya pengaruh teori statutanya tersebut dikemudian hari. Adapun objek
pengaturan teori statuta ini dibagi atas 3 yaitu :
-Statuta Personalia, yaitu statuta
yang memiliki lingkungan kuasa secara personal yang mengatur status personal
seseorang dan status orang dalam hal ini mengenai pribadi dan keluarga, adapun
statuta ini berlaku secara ekstrateritorial, artinya berlaku juga bagi daerah
penguasa dan di luar tempat si subjek hukum tadi melakukan tindakan hukumnya
(diluar daerah penguasanya). Ini sama dengan asas nasionalitas aktif dalam KUHP
Indonesia.
-Statuta Realia, yaitu statuta yang
mengatur tentang benda dan status benda tersebut. Statuta ini bersifat
teritorial, yaitu hanya berlaku di mana kedudukan penguasa terkait, artinya
orang yang masuk kedalam daerah kekuasaanya harus tunduk pada hukum yang
diberlakukan penguasa tadi.
Kemudian, murid Bartolus,
yakni Baldus menyempurnakan teori gurunya tersebut dengan menambahkan
:
-Statuta Mixta, yaitu statuta yang
mengatur mengenai perbuatan-perbuatan hukum, yang dimana dilakukan oleh subjek
hukum terhadap objek hukum (benda). Statuta ini bersifat teritorial, yakni
berlaku di daerah penguasa yang memberlakukan statuta mixta tersebut, sama
dengan statuta realia.
Statuta-statuta diataslah yang menjadi
penekanan dalam Teori statuta klasik, dimana pemikir paling berpengaruhnya
adalah Accursius, Bartolus dan Baldus.
Berdasarkan doktrin statuta di atas,
kemudian dikembangkan metode berpikir Hukum Perdata Internasional (HPI), yaitu:
a. Apabila persoalan HPI yang dihadapi
menyangkut persoalan status suatu benda, maka kedudukan hukum benda itu harus
diatur berdasarkan statuta realia dari tempat dimana benda itu
berada.
b. Apabila persoalan HPI yang dihadapi
berkaitan dengan status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statuta
personalia dari tempat dimana orang tersebut berdomisili (lex
domicilii); dan
c. Apabila persoalan HPI yang dihadapi
berkaitan dengan bentuk atau akibat suatu oerbuatan hukum, maka bentuk dan
akibat hukum tersebut harus tunduk pada kaidah-kaidah statuta mixta dari
tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.
B.Teori statuta Prancis (Abad 16 M)
Pada abad 16, provinsi-provinsi di
Perancis memiliki sistem hukum sendiri-sendiri yang disebut costume, yang
pada hakikatnya sama dengan statuta. Nah, dikarenakan adanya keberagaman costume sehingga ini
menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum terhadap warga yang berasal dari
provinsi lain, sedangkan mengenai perdagangan antar provinsi semakin meningkat,
maka konflik hukum antar provinsi meningkat pula. Maka dari itu muncul
pemikir-pemikir Perancis yang menaruh perhatiannya mengenai ini, yaitu Charles Dumolin dan D’Argentre. Dumolin adalah
seorang Humanis sejati, hal ini tampak dari cara pandangnya terhadap
permasalahan hukum yang terjadi di Perancis, dalam masal diatas, Charles Dumolin mengatakan
bahwa pada dasarnya, antar individu itu bebas dalam menentukan hukum yang akan
digunakan, yang akan dituangkan dalam suatu bentuk kebebasan berkontrak, hal
ini merupakan suatu jalan tengah yang adil menurut Charles Dumolin.
Maka sumbangan pemikiran dari Charles Dumolin pada
teori statuta Perancis adalah kebebasan berkontrak tersebut. Sedangkan D’Argentre lebih
menekankan pendapatnya terhadap tempat dilakukannya tindakan hukum,
dimana D’Argentre mengatakan bahwa hukum yang semestinya
diberlakukan adalah hukum otonom daerah terkait, bukan hukum subjek hukum
terkait, sehingga apabila misalnya Sugi berasal dari kota A, lalu melakukan
tindakan hukum yang berkenaan dengan benda di kota B, hukum yang diberakukan
adalah hukum otonom benda tersebut, yaitu B. Inilah pemikiran paling
berpengaruh dari teori statuta perancis.
C. Teori statuta Belanda (Abad 17M)
Teori ini lebih modern dari teori stauta
Italia dan Perancis, masa ini Belanda sudah dalam bentuk sebuah negara, maka
kaitannya adalah mengenai kedaulatan ekslusif negara. Prinsip dasar yang
dijadikan titik tolak dalam teori statuta Belanda adalah kedaulatan
eksklusif negara. Jadi, statuta yang dimaksud
adalah hukum negara yang berlaku di dalam teritorial suatu negara. Sehingga
teori statuta Belanda ini menyatakan bahwa satuta yang berlaku adalah statuta
negara itu sendiri di wilayahnya, sama dengan asas yang dianut dalam KUHP
Indonesia, teritorial. Pemikir berpengaruh Belanda adalah Huber dan Johannes
Voet. Huber mengatakan bahwa setiap negara memiliki
kedaulatan untuk menegakkan kaidah HPInya di wilayahnya. Negara tesebut juga
tidak dapat melakukan tindakan sepihak saja, karena ada comitas gentium,
yaitu mengakui juga mengenai suatu hak yang telah diperoleh dari negara lain.
Sedangkan Johannes Voet mengembangkan comitas
gentium Huber, dimana Voet mengatakan
dalam menegakkan comitas gentium adalah untuk menjaga rasa
saling menghormati pada negara lain, namun tidak adal kewajiban suatu negara
harus menggunakan kaidah HPI negara lain dalam menangani suatu masalah HPI. Ini
lah penekanan dari teori satuta Belanda, yang lebih modern objek penekanannya.
Dewasa ini teori comitas gentium itu
sudah banyak ditinggalkan oleh para pakar hukum. Chesire misalnya
menyatakan bahwa penggunaan hukum asing hanyalah disebabkan keinginan untuk
mencari penyelesaian yang seadil-adilnya (the desire to do justice).
Jadi, tidak berdasarkan rasa saling menghormati dan bukan pula merupakan
perongrongan kedaulatan negara sendiri.
D. Teori-teori Modern (Abad 19M)
Pemikiran mengenai HPI mengalami kemajuan
berkat adanya usaha dari tiga orang pakar hukum, yaitu Joseph Story,
Friedrich Carl von Savigny, dan Pasque Stanislao
Manchini. Dimana titik tolak pandangan Von Savigny adalah
bahwa suatu hubungan hukum yang sama harus memberikan penyelesaian yang sama
pula, baik bila diputuskan oleh hakim di negara A maupun di negara B.
Penyelesaian permasalahan yang menyangkut unsur-unsur asing pun hendaknya
diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana. Titik
tolak pemikiran Von Savigny adalah bahwa HPI bersifat
supranasional, maka HPI bersifat universal atau lebih tepat pemikiran Von
Savigny ini disebut dengan istilah Teori HPI universal.
Pengembangan teori ini oleh Von Savigny sebenarnya merupakan
reaksi atas pola pikir statuta Italia yang dianggap memiliki banyak kelemahan.
Pemikiran Von Savigny juga berkembang setelah didahului oleh
pemikiran ahli hukum Jerman lain, yaitu C.G von Wachter. Pandangan Von
Wachter mengkritik teori statuta (Italia) yang dianggap menimbulkan
ketidakpastian hukum. Ia menolak adanya sifat ekstrateritorial dari suatu
aturan (seperti statuta personalia) karena adanya aturan seperti itu akan
menyebabkan timbulnya kewajiban hukum di negara asing. Von
Wachter berasumsi bahwa "Hukum intern forum hanya dibuat untuk
dan hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu, dalam
perkara-perkara HPI, forumlah yang harus menyediakan kaidah-kaidah dalam HPI
atau menentukan hukum apa yang harus berlaku." Selanjutnya menurut Manchini, hukum
personal seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Manchini ini
menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia,
ada 2 (dua) macam kaidah dalam setiap sistem hukum, yaitu:
a. Kaidah hukum yang menyangkut
kepentingan perorangan; dan
b. Kaidah hukum yang melindungi dan
menjaga ketertiban umum (public order).
Manchini menginginkan terciptanya unifikasi HPI melalui perjanjian-perjanjian
internasional, sedangkan Von Savigny menghendaki terwujudnya
suatu HPI yang bersifat supranasional. Namun, kenyataannya hingga kini, belum
dapat diciptakan suatu HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hukum harus
diselesaikan menurut caranya sendiri, dan ini pun bergantung pada kebiasaan,
undang-undang, serta yurisprudensi masing-masing masyarakat hukum. Walaupun
demikian, dari waktu ke waktu perjanjian internasional yang berusaha
menyeragamkan kaidah HPI makin bertambah terus.
Sekian tulisan yang dapat kami buat dalam
kesempatan kali ini mengenai Perkembangan Teori Statuta, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Salam Justitia!
Sumber bacaan dari:
Khairandy, Ridwan. 2007. Pengantar Hukum Perdata Internasional. Yogyakarta: FH UII Press.
Hardjowohono, Bayu Seto.2013. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. 2008. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: PT Alumni
0 Comments
Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)