TEORI PEMISAHAN KEKUASAAN

Penulis : Geofani Milthree Saragih



BENTUK KEKUASAAN DI INDONESIA PEMISAHAN KEKUASAAN ATAU PEMBAGIAN KEKUASAAN?


Mekanisme Pembagian Kekuasaan yang dilaksanakan di Indonesia ...
Symber gambar : https://www.freedomsiana.id/mekanisme-pembagian-kekuasaan-yang-dilaksanakan-di-indonesia/


Seringkali kita dapati di dalam buku hukum yang membahas lingkup ilmu negara dan administrasi negara menyebutkan teori trias politica Montesquieu dan tidak jarang dikatakan negara Indonesia menganut teori tersebut. Sebelumnya, ada baiknya kita melihat secara historis perkembangan teori tiras politica itu.


Pemikiran trias politica diawali dari reaksi Jhon Locke atas situasi sosial yang dihadapinya. Jhon Locke hidup pada masa kerajaan-kerajaan dimana masih menggunakan gaya absolut dalam menjalankan kekuasaannya, tidak heran Jhon Locke salah seorang yang mendukung pembatasan kekuasaan politik raja, dengan dalil mengapa manusia memasuki suatu bentuk yang disebut “social contract” apabila mempertahankan kehidupan, kebebasan dan hak memiliki masih dibatasi oleh penguasa?. Terlebih “memiliki” adalah dasar manusia dalam kedudukannya didepan politik. Timbullah semangat dibenak Jhon Locke untuk membatasi kekuasaan raja demi terwujudnya pembatasan kekuasaan raja yang absolut, dimana Jhon Locke berpendapat dibutuhkan suatu badan kenegaraan (staatkundig orgaan) yang berdiri sendiri. Dalam sejarah, kekuasaan yang pertama diambil dari raja adalah kekuasaan kehakiman yang diserahkan pada suatu badan peradilan, hal demikian tampak pada abad pertengahan.

Pemikiran Jhon Locke tentang pembagian kekuasaan tersebut adalah sebagai berikut :

     a. Kekuasaan yang membentuk undang-undang (legislating) disebut legislative.
     b. Kekuasaan yang melaksanakan undang-undang disebut executive
     c. Kekuasaan yang yang lebih kearah pertahanan dan keamanaan serta hubungan keluar negeri negara disebut federative (beberapa buku juga mengatakan bahwa tugas federative berdasarkan defenisi Jhon Locke sengaja dikaburkan karena federative merupakan kekuasaan yang berada ditengah-tengah antara legislative dan executive).

Sebenarnya atas pemikirannya tersebut, Jhon Locke sendiri telah mengatakan bahwa konsep yang Ia berikan tersebut bukanlah suatu bentuk kekuasaan terpisah, tetapi pemberian kewenangan negara, sehingga tidak ada pengindividualisasian kekuasaan yang utuh dan hakiki didalamnya (hal demikian apat kita lihat adanya kekuasaan federative yang dia berikan dalam konsepnya).  

Pemikiran Jhon Locke tersebut mempengaruhi konsep terkenal milik Montesquieu yakni trias politica. Adapun kekuasasan yang terdapat dalam konsep trias politica adalah sebagai berikut :
     a. La puissance legislative, sebagai pembentuk undang-undang yakni legislatif
     b. La puissance executive, sebagai pelaksana undang-undang yakni eksekutif
     c. La puissance de juger, sebagai pengawas jalannya suatu undang-undang dalam hal ini adalah kekuasaan kehakiman, yakni yudikatif

Konsep demikian sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Montesquieu, bahwasanya kebebasan politik hanya dapat dilihat di dalam suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan negara dan fungsi yang berkaitan tidak berada ditangan orang yang sama. Pemikiran demikian muncul dalam benak Montesquieu dikarenakan Ia memandang manusia dalam menjalankan suatu kekuasaan cenderung akan menyalahgunakannya, bagaimana bila manusia tersebut memegan lebih dari satu kekuasaan yang sama yang pada dasarnya dapat saling mengawasi? Sehingga Montesquieu menegaskan tiga tapuk kekuasaan yang telah ia sebutkan sebelumya tidak boleh berada dibawah satu tangan kekuasaan. Sehingga jelas disini, Montesquieu berbeda dengan Jhon Locke, Montesquieu mengaminkan pemisahan kekuasaan yang tidak boleh saling bersentuhan, demikiankah dengan konsep yang digunakan oleh Indonesia?.

Sebenarnya, pemikiran yang paling tepat digunakan untuk menilai konsep kekuasaan seperti apa yang digunakan oleh Indonesia dalam membatasi kekuasaan organ-organnya dalam hal ini adalah primary organ (diksi yang digunakan oleh Hans Kelsen) adalah pemikiran dari Sir Ivon Jennings. Sir Ivon Jennings membagi jenis pemisahan kekuasaan menjadi kekuasaan dalam arti material dan dalam arti formil. Dalam arti material pemisahan kekuasaan digambarkan sebagai suatu pemisahan yang bersifat tegas dalam hal pembagian fungsi kenegaraan dalam tiga bagian, yakni legislative, executive, dan judicative. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal adalah bentuk pemisahan yang tidak bersifat tegas dalam hal pembagian fungsi kenegaraannya. Almarhum Prof. Ismail Sunny memberikan pendapat atas pendapat Sir Ivon Jennings tersebut. Almarhum Prof. Ismail Sunny berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material tersebut ditegaskan sebagai pemisahan kekuasaan sedangkan dalam arti formal ditegaskan sebagai pembagian kekuasaan.

Almarhum Prof. Ismail Sunny mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material tersebut tidak pernah dilaksanakan di Indonesia, yang dilaksanakan di Indonesia adalah pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Sehingga Indonesia menganut pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan. Hal tersebut terbukti, dimana salah satu pelaku sejarah dalam konstitusi Indonesia, Almarhum Prof. Soepomo juga menolak konsep trias politica dimasukkan dalam UUD 1945. Prof. Bintan R. Saragih dalam bukunya juga mengatakan bahwa Indonesia tidak menganut asas pemisahan kekuasaan.

Kalau kita perhatikan juga dalam UUD 1945, setiap primary organ yang ada di dalamnya dalam hal ini adalah eksekutif (Presdien dan wakil presiden), legislatif (MPR, DPR, dan DPD) dan yudikatif (MA, MK dan KY) tidak jarang ada pengaturan yang memperlihatkan adanya kemungkinan saling mempengaruhi kewenangan antar organ, hal demikian sesuai dengan teori Jennings yang telah kita ulas sebelumnya secara ringkas (formal). Saling intervensi tampak dari pengaturan beberapa pasal, misalnya pasal 22 ayat (1) dan 5 ayat (2) UUD 1945, Presiden dapat membentuk peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perpu) dan Presiden juga dapat membuat Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana undang-undang belum lagi intervensi dari  MK (yudikatif) yang dapat membatalkan berlakunya suatu undang-undang akibat pengujian terhadap UUD 1945 (pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi) yang menimbulkan MK seolah-olah menjadi positive legislator seperti yang dikatakan oleh Hamdan Zoelva. Hal demikian jelas memasuki wilayah kewenangan legislatif. Kemudian berdasarkan pasal 14 UUD 1945, Presiden dapat mengintervensi kekuasaan yudikatif dengan menggunakan constitutional right nya atas pemberian grasi dan rehabilitasi. Yudikatif juga dapat melakukan intervensi terhadap legislatif dengan yurisprudensi terhadap undang-undang seperti yang telah Penulis katakan sebelumnya (pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi). Legislatif juga dapat melakukan intervensi terhadap kekuasaan eksekutif dalam hak prerogratif Presiden untuk pengangkatan KAPOLRI, Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, Hakim Agung, Hakim Konstitusi dengan dalih fit and proper test.

Sehingga telah jelas kita lihat dari sudut pandang fungsi setiap primary organ di Indonesia terdapat kemungkinan saling intervensi dalam wewenangnya yang menegaskan bahwa tidak adanya pemisahan kekuasaan, yang ada adalah pembagian kekuasaan. Sekian yang dapat Penulis berikan pada hari ini, semoga tetap membangun intelektualitas dalam keadaan apapun.

Salam justitia!


 












Post a Comment

1 Comments

Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)